NING-NONG*

Terik matahari sengat ubun kepala
Aku tidak kena, cuma potret jendela
Namun lebih sengat gamelan aku rasa
Mengaum sedari tadi di lapangan desa
Nang-ning-nong-ning-nang-ning-nong
            Bocah-bocah tanpa busana telanjang kaki dan dada
Tak lelah, tak jengah menghirup gembira
Menampilkan peran dunia Bharata
Berpadu gerakan dan irama
Nang-ning-nong-ning-nang-ning-nong
Tibalah langit memuntahkan hujan
Wayang masih di pertunjukkan
Keringat dan hujan berkilatan di badan
Guntur-guntur beradu-sautan di pekat awan
Namun ning-nong enggan dikalahkan
            Bola mata saling melotot
            Seperti hendak akan copot?
            Jari, tangan, tubuh, kaki keras kaku
            juga berdiri menari ragu
Werkudara dan Gatut kaca
Nakula bergandeng Sadewa
Semar, Gareng, Petruk, Bagong
Semua ada hanya jiwa
            Kini pewayangan sempurna hadir di desa
            Di depan mata hadap jendela
            Ah! Arjuna
Resah-gelisah mencari kasih tercinta
Menatap tepat ke arah jendela
Nang-ning-nong-ning-nang-ning-nong
Mata terpejam, nafas tertahan
Tubuh tak gerakkan, dikendalikan ketaksadaran
Kaki dilangkahkan, hampiri pertunjukkan
            Langit menghujam lewat hujan
Hawa dingin membelai, menusuk seluruh badan
Tubuh menggigil, gamelan terus memanggil
Asaku kembali, rasanya amat musykil
Meski terdengar:
“Tak boleh Sri, awan pekat hujan lebat!”
Namun hardikan tidak diindahkan
Hingga sampainya di tujuan
            Makin terseret, makin jauh-mendekat
            Kepada Arjuna, Srikandi melekat
            Seluruh lakon telah siap-genap
            Arjuna bahagia, senyum simpul tercipta
            Berdua mesra menari dalam indah satu dunia

Purwokerto, 14 April 2013


*Masuk dalam antologi Pilar Puisi dan Pohon Dakwah

Comments

Populer Post

KEHIDUPAN DAN “PELAJARAN MENGARANG” DARI SANG PENGARANG

Isi Kepala Sapto*

Hidup Hanya Singgah untuk Memandang dan Mendengarkan

Menengok Adat Suku Sasak di Kampung Sade

Pembelaan yang Datang Terlambat