Posts

Showing posts from 2014

Ada yang Nyuri

Hari akan cerah, pikirku Hujan tak turun, langit hanya kelabu Tak menentu Akankah kuajak kawan jalan-jalan? Ah, kawan sedang asyik main awan Baiklah, aku akan riang dan tertawa sendiri Aih, riang dan tawaku pun telah dicuri Mojokerto, 29 September 2013

Ada Sisa Daging di Sela Gigiku

Walaupun tidak sakit, namun terasa sedikit pegal. Lantaran lidahku terus bergerak mencari-cari pikiranmu. Lidahku digerakan oleh waktu. Dan aku takkan bersandar pada punggungnya, jika lidahmu bertulang, kawan. Tanjungpinang, 2013

Hantu-hantu yang Mengacungkan Telunjuknya

kujejaki sahara kutemui melati tiga ribu aroma kupandangi lembayung senja kudapati pelangi tiga ratus warna kunikmati mendung malam hingga hadir pula tiga puluh rembulan indah, terang, dan menawan ingin kuhirup setangkai kupilih warna yang damai terang yang terkulai kuterperanjat ah, ini maya! karena hantu-hantu di siang bolong di sudut sana tersenyum nyiyir sembari mengacungkan telunjuknya Purwokerto, 2012

Gita cita

­ -buat adik melayang ia ke langit sana menggenggam surya dan mengantongi senja terbaring ia di gumpalan awan-gemawan yang putih-pualam dengan dadanya ketika malam, dikecupnya rembulan lantas tertidur diselimuti gemintang ah, gita cita itu miliknya Purwokerto, 6 Juni 2012

Pemberontakkan

sudah hilang diriku dilahap api yang menggebu di malam ber pesona rembulan di langit berjuta bintang ah, itu palsu! kulihat: g emintang berjatuhan menghantamkan dirinya hingga berdentuman rembulan pun menangis rayakan kepiluan gunung dan laut membuncah tak keruan air dan api bergejolak memberontak: nurani Purwokerto, 2012

Menyusun Strategi

seorang lelaki tengah menyusun strategi untuk mengabadikan sunyi demi tak terjebak rayuan mimpi lihatlah! seorang lelaki tengah memunguti keping-keping kenangan yang luruh dari kepalanya (lembut ucap ibunya dan hardik bijak bapaknya atau rengek manja adiknya) Purwokerto, 2011

Sapa Pagi

ketika pagi menjelang dada pun turut riang dan kepala terngiang desau kenangan yang tak beraturan ah, kuharap ramah mentari mampu menata diri hingga kuhirup aroma surgawi Purwokerto, 2011

Nestapa

ia ibarat malam yang mencekam setiap sudut dada yang kelam ia akan selalu datang menyapa jiwa yang tlah lupa akan kebangkitannya Purwokerto, 2011

Sampai Abadi

gumpalan awan-gemawan tampak kabur burung camar alunkan melodi menghibur embun pagi pun masih hinggap di dedaunan yang terjulur hingga mentari menebar senyumnya di ufuk timur ah, kuharap sinarnya rasuki diri sampai abadi Purwokerto, 2011

Rahasia*

oleh Wahyu Noerhadi Syahdan, di suatu tempat terdapatlah dua orang lelaki yang tengah menyusuri padang pasir. “Muridku, aku takkan berhenti berjalan sebelum kita sampai pada pertemuan antara dua buah lautan. Aku akan berjalan terus meski harus menempuh waktu selama bertahun-tahun.” Ujar salah seorang kepada seseorang di sampingnya. Si murid menatap airmuka sang guru, lantas dengan mantap ia menganggukan kepalanya. Di bawah sengat matahari, di atas hamparan padang, mereka terus bercakap-cakap kesana-kemari. Tiap kali mata memandang, tiap itu pula mata tertumbuk pada fatamorgana. Bahkan, tak jarang mata mereka pun mungkin akan mendapati sebuah oasis yang menggiurkan di tengah kegersangan. Sesekali mereka berhenti sejenak untuk beristirah. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Hati senang bukan alang-kepalang. Setelah lama berjalan, tibalah mereka di tempat pertemuan dua buah lautan. Mereka masih menapaki padang sembari menikmati aroma lautan. “Muridku, bawalah kemari makanan kita.

Meditasi*

oleh Wahyu Noerhadi “Ini acara selesai jam berapa, Mas?” sapa pemuda di depanku sembari menengok ke arlojinya. “Di manual acaranya sih sampai jam dua belas, tapi kebiasaan kita ‘kan mulur. Jadi, ya, paling banter kita selesai jam tiga pagi kayaknya Mas. Ho-ho-ho,” jawabku kepada pemuda yang belum kuketahui namanya itu. Percakapan itu terjadi sesaat sebelum aku mencolek pipi kiri Ayu, teman sekelasku yang juga kekasih dari pemuda yang belum kuketahui namanya itu. Kemudian, dengan air muka yang tak bisa kujelaskan, pemuda itu bangkit dari kursi dan tiba-tiba menepuk pundakku, lalu mengajakku ke luar ruangan. “Kalau memang lelaki, ayo kita selesaikan di sini!” geretak pemuda itu dengan tangannya mencengkeram kerah bajuku. “ Lho, lho, lho, Mas...” Belum selesai aku bicara. Buuuggg. Satu tinju mendarat di pipi kiriku. Aku kebingungan dan pemuda itu terus saja meracau sambil mengendurkan kerah bajuku, dan berlalu. Ayu, yang berdiri tegap di belakangku ikut berlalu bersama k

Oi!

amboi... angin sepoi membelai, mengecup begitu dalam sang saka yang dirundung keresahan sang garuda yang ditimpa kemasygulan oi, mari bantu! jangan hanya membatu sudah waktunya kita berseru ke mana kata-kata bung karno dulu? ayo, angkat kepalamu! busungkan dadamu! kepalkan tinjumu! dan suarakan kemerdekaanmu! agar saka dan garuda turut mengharu Purwokerto, Agustus 2011

Ketika Ia Datang

kutergeletak, tak mati ingin kugerak, tapi tak kudapati hanya harapan menari-nari dalam otak apa daya jika raga tak hentak hingga hadir sosok bagai malaikat tak bersayap, penuh gairah melekat lain ucap, lain pula nasihat hanya isyarat yang tersirat Purwokerto, 2011

Entah

suasana berubah-ubah tak mengarah tak berbuah bukan duka lara apalagi suka cita entahlah rasa tak mewakilinya? Purwokerto, 2011

Pilihan

ini antara yang tak pasti antara dua arah yang perlu dikehendaki tentang teka-teki yang mesti teryakini yang nantinya akan kutapaki dan tak kembali Purwokerto, 2011

Arah Tujuan

angan? dipikir akan teraih takkan! kala terus merintih di dalam bui, di balik jeruji jadah segala maya ini! hanya gumam, tanpa keputusan kuakan yakini dan jalani penghidupan berlari dan berlari kemudian tak tertahankan hingga kutemui pintu kehakikian Purwokerto, 2011

Rengkuhan

kami dibelai, dibuai hingga damai bukan wanita, harta atau tahta kami di sini direngkuh oleh sang maha kasih sayang, penuh Purwokerto, 2012

Kehendak-Mu

ketika hendakku memandang kau dapat butakan ketika hendakku mengucap kau dapat bisukan ketika hendakku mendengar kau dapat tulikan ketika hendakku menggerakkan kau dapat lumpuhkan bahkan ketika hendakku menghembuskan kau dapat pula menyesakkan hingga terhentikan yaa allah, yaa rahman, yaa rahim yang kuasa atas segala sesuatu mukalafkah aku dalam kehendak-mu Purwokerto, 2012

Direnggut Dariku

Surya terbenam Sinarnya tertelan Direnggut dariku Rembulan tertutup awan Gemilangnya hilang Direnggut dariku 2012

Pertarungan

hancur dan musnahkanlah kepenatan lumat dan lahaplah kegundahan tak ingin arungi lautan hitam tak ingin tapaki hutan kelam biar gelombang dan badai surga menyapa melenyapkan hasutan, bisikan, dan semua yang bukan dari rongga dada Purwokerto, 2012

Kelewang

dan seluruh menghilang entah kemana melayang? enggan kembali berdendang desingan suara lembut n un menancap menusuk relung yang kalut melesat ba k kelewang terhempas segala kepalsuan dan ketamakan dunia sekelumit bagian jiwa tertampar oleh-nya s etidaknya raga dapat me muliakan jiwa seperti bunga muliakan embun dan surya begitu juga se- sederhananya indera d apat merasa apa yang sebenarnya mesti dirasa akhirnya harap tersirami oleh semua y ang bermuasal dari dada Purwokerto, 28 November 2012

Kawanan yang Hilang

Makhluk kecil malang Mencari kawanan yang hilang Terbawa angin, damai dan tenang Dan kini mereka bermain di awan Diriku? Masih melayang Terombang-ambing di udara Terkadang meliuk-liuk Terhempas dan terkapar Di luas padang Purwokerto, 28 November 2012

Kepastian

Menanti apa yang tak perlu dinanti Mengharap apa yang tak usah diharap Menanya apa yang tak harus ditanya Pagi tak menanti embun pergi Senja tak harap debur ombak Lagi malam , tak tanya kabar rembulan Mengapa masih juga Menanti, mengharap, menanya? Purwokerto, 11 November 2012

Ketika Semesta Berkata

Tergoyah jiwa Berdenyut dada Badan tergolek lemas Sejenak jantung tak nafas Pikiran tak lagi ganas Hening semua Ketika semesta berkata: “Tak kau rasa siapa yang menjelma, kau telah lupa? Dia asa yang buruk rupa.” Purwokerto, 10 November 2012

Dikutuki

tiba-tiba tiada bayang di malam tak kuasa cahaya menyerbu dengan macam, mungkin beribu tetap saja, tak nampak bayangku malam paling kelam antara malam yang kelam duka paling nestapa antara duka yang nestapa ah, separah itukah? rembulan, gemintang nampakkan, tak pancarkan mengutuki, menyumpahi: “musnah engkau ditelan kelam!” ah, semesti itukah? sekitar malam pun turut bertoleh sambil berkecut beramai, bergumam: “mampus engkau dilanda nestapa!” Purwokerto, November 2012