Rahasia*
oleh Wahyu Noerhadi
Syahdan, di
suatu tempat terdapatlah dua orang lelaki yang tengah menyusuri padang pasir.
“Muridku, aku
takkan berhenti berjalan sebelum kita sampai pada pertemuan antara dua buah
lautan. Aku akan berjalan terus meski harus menempuh waktu selama
bertahun-tahun.” Ujar salah seorang kepada seseorang di sampingnya. Si murid menatap
airmuka sang guru, lantas dengan mantap ia menganggukan kepalanya.
Di bawah sengat
matahari, di atas hamparan padang, mereka terus bercakap-cakap kesana-kemari. Tiap
kali mata memandang, tiap itu pula mata tertumbuk pada fatamorgana. Bahkan, tak
jarang mata mereka pun mungkin akan mendapati sebuah oasis yang menggiurkan di
tengah kegersangan. Sesekali mereka berhenti sejenak untuk beristirah.
Pucuk dicinta,
ulam pun tiba. Hati senang bukan alang-kepalang. Setelah lama berjalan, tibalah
mereka di tempat pertemuan dua buah lautan. Mereka masih menapaki padang
sembari menikmati aroma lautan.
“Muridku,
bawalah kemari makanan kita. Sesungguhnya kita telah merasa letih karena
perjalanan ini.”
“Maaf Guru! Tatkala
kita mencari tempat istirahat di batu tadi, maka sesungguhnya aku telah lalai
bahwa, ikan yang kita bawa sebagai bekal telah mengambil jalannya ke laut
dengan cara yang aneh.” Murid itu menjawab dengan heran sekaligus merasa
bersalah.
“Tak apa
muridku. Kita akan kembali ke tempat tadi, karena di sana kita akan bertemu
seseorang yang kita cari.” Tegas gurunya.
Tanda tanya
besar mencuat dari kepala si murid. Apa sesungguhnya yang ada di benak Guru?
Si murid membatin.
Mereka kembali
ke tempat yang sudah dilaluinya. Dan benar, di sanalah mereka berjumpa dengan
seorang asing. Maka sang guru pun berkata pada orang asing itu,
“Wahai orang
asing, bolehkah kiranya saya mengikutimu? Supaya kamu bisa mengajarkan kepadaku
ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan oleh Allah kepadamu.”
Orang asing itu
pun menjawab, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup bersabar
bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”
“Insya Allah
kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan
menentangmu dalam sesuatu urusan pun,” pinta guru itu. Dan, si murid hanya
termangu memandangi keduanya.
“Jika kamu
mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun,
sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.” Jelas si orang asing.
***
Suatu ketika, si
orang asing dan guru itu berjalan, dan sampailah pada suatu negeri. Mereka merasa
lelah dan memohon untuk dijamu oleh penduduk di negeri itu. Namun, ternyata tak
seorang pun dari penduduk negeri itu mau menjamu mereka. Lantas mereka kembali
berjalan menjelajahi negeri itu hingga keduanya mendapati rumah yang hampir
roboh. Si orang asing tiba-tiba saja mendekati rumah itu dan membetulkan
tiang-tiangnya hingga rumah itu kembali tegak. Guru itu memandangi si orang
asing seraya berkata,
“Jikalau kamu
mau, niscaya kamu dapat mengambil upah ataupun jamuan atas apa yang telah kamu
lakukan.”
Si orang asing
bungkam dan kembali berjalan. Guru itupun tak berkata lagi, kemudian melangkah,
membuntuti langkah dan pikiran si orang asing.
Esok harinya,
pagi-pagi sekali—ketika fajar mulai menyembul di ufuk barat: sedikit demi
sedikit sinar keemasannya mulai menyepuh dan menghangatkan bumi—si orang asing
dan guru itu pergi ke laut. Sesampainya di laut, kemudian keduanya menaiki
perahu. Entah mengapa, tiba-tiba saja si orang asing melubangi perahu itu. Cepat
saja guru itu menegur apa yang sedang dilakukan oleh si orang asing,
“Mengapa kamu
melubangi perahu itu, yang akibatnya kamu dapat menenggelamkan penumpangnya?”
Guru itu berpikir bahwa perbuatan si orang asing adalah suatu kesalahan.
“Bukankah aku
telah berkata: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama
denganku.’ Bukankah kamu masih ingat perkataanku itu?” Si orang asing
mengingatkan.
“Janganlah kamu
menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu
kesulitan dalam urusanku,” pinta guru itu meski dirinya masih dibayangi
keheranan.
***
Mereka berjalan
ditemani cahaya senja: matahari hendak undur diri meninggalkan bumi, untuk
sejenak beristirahat dan mempersilakan rembulan menghiasi malam. Di tengah
perjalanan mereka melihat seorang anak berjalan sendirian. Dan, si orang asing
berkata,
“Kamu lihat lelaki
kecil itu?”
“Ya, aku
melihatnya dengan sesuatu pandang yang jelas.” Jawab guru itu.
“Aku akan
membunuhnya.”
“Kamu akan
membunuhnya? Apa dosa...”
Belum selesai
guru itu berkata, si orang asing telah berlari ke arah anak kecil itu. Guru itu
cepat saja berlari mengejar si orang asing. Sesampainya di tempat kejadian,
bolamata guru itu pun terbelalak.
“Ya Allah, ini
sesuatu dosa besar. Mohon ampun ya Allah. Aku tak mampu mencegah perbuatannya.
Aku tak mengerti, apa yang harus kulakukan?” Airmata guru itu menitik, melewati
pipi, hingga jatuh ke bumi.
“Mengapa kamu
membunuhnya? Apa alasan kamu membunuh jiwa yang bersih, jiwa anak kecil itu?
Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu kemungkaran yang teramat besar.” Protes
guru itu masih dengan cucuran airmata yang kian deras.
“Bukankah sudah
kukatakan kepadamu, bahwa sesunggunya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?”
Ujar si orang asing.
***
Semuanya
menjadi lebih terang, ketika si orang asing menjelaskan:
“Inilah
perpisahan antara aku denganmu. Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Pertama,
rumah yang aku tegakkan tiangnya itu adalah rumah milik dua orang anak yatim di
negeri itu. Di bawah rumah itu terdapat harta-benda simpanan bagi mereka
berdua. Sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Allah menghendaki agar
mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu sebagai
rahmat dari Allah. Kedua, peristiwa di lautan. Bahtera itu, kamu tahu,
adalah milik nelayan-nelayan yang tidak punya. Aku merusak bahtera itu lantaran
aku tahu, di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Ketiga,
mengapa aku membunuh anak kecil itu? Anak itu adalah seorang anak dari
kedua orangtua mukmin. Aku khawatir bahwa anak itu nantinya hanya akan
mendorong kedua orangtuanya kepada jalan kesesatan dan kekafiran. Dan, aku menghendaki
supaya Allah mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya
dari anak itu, dan lebih dalam kasih sayangnya kepada ibu bapaknya.
Sesungguhnya aku melakukan semua itu bukan menurut kemauanku sendiri. Itu semua
terjadi atas kehendak Allah Yang Maha Kuasa. Demikianlah, tujuan
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”
Guru itu yang
menamakan bahwa dirinya adalah Musa, terdiam dan memperhatikan dengan khidmat setiap
butir kata yang keluar dari mulut si orang asing atau yang lebih dikenal dengan
nama Khidhr.
*Cerpen ini dikutip dari kitab Al-Ibriz karangan K.H. Bisri Mustofa, surat Al-Kahfi Juz
15-16. Isi dari cerpen ini sudah direkayasa ulang. Cerpen ini dimuat di NU Online.
Catatan:
1.
Pertemuan antara dua buah
lautan itu, yaitu bertemunya laut Romani dan laut Persi.
2.
Menurut para ahli tafsir,
murid dari Nabi Musa a.s. itu ialah Yusya’ bin Nun.
3.
Menurut kitab Al-Ibriz,
ilmu yang diberikan kepada kedua Nabi (Nabi Musa a.s. dan Nabi Khidhr a.s.)
tersebut berbeda. Nabi Musa a.s. dengan ilmu syariatnya dan Nabi Khidhr a.s.
dengan ilmu hakikatnya. Maka dari itu, Nabi Musa a.s. merasa perlu berguru kepada
Nabi Khidhr a.s.
4.
Menurut riwayat, air laut
tidak sampai menggenangi perahu yang dilubangi oleh Nabi Khidhr a.s.
5.
Diriwayatkan pula bahwa
Allah SWT benar-benar mengganti anak yang dibunuh oleh Nabi Khidhr a.s. dengan
seorang anak perempuan, yang nantinya diperistri oleh seorang Nabi dan
melahirkan seorang Nabi pula.
Comments