Meditasi*

oleh Wahyu Noerhadi

“Ini acara selesai jam berapa, Mas?” sapa pemuda di depanku sembari menengok ke arlojinya.
“Di manual acaranya sih sampai jam dua belas, tapi kebiasaan kita ‘kan mulur. Jadi, ya, paling banter kita selesai jam tiga pagi kayaknya Mas. Ho-ho-ho,” jawabku kepada pemuda yang belum kuketahui namanya itu.
Percakapan itu terjadi sesaat sebelum aku mencolek pipi kiri Ayu, teman sekelasku yang juga kekasih dari pemuda yang belum kuketahui namanya itu. Kemudian, dengan air muka yang tak bisa kujelaskan, pemuda itu bangkit dari kursi dan tiba-tiba menepuk pundakku, lalu mengajakku ke luar ruangan.
“Kalau memang lelaki, ayo kita selesaikan di sini!” geretak pemuda itu dengan tangannya mencengkeram kerah bajuku.
Lho, lho, lho, Mas...”
Belum selesai aku bicara. Buuuggg. Satu tinju mendarat di pipi kiriku. Aku kebingungan dan pemuda itu terus saja meracau sambil mengendurkan kerah bajuku, dan berlalu. Ayu, yang berdiri tegap di belakangku ikut berlalu bersama kekasihnya itu.
Dari kejauhan racauannya masih saja dapat terdengar, “silakan lapor polisi. Anak buahku pasti akan mencarimu!” Ancam pemuda itu sembari mengacung-ngacungkan telunjuknya.
Dia pergi menggandeng Ayu. Aku kembali masuk ruangan dengan membawa perasaan yang aneh. Ditambah, adanya kesaksian dari Rizki dan Ivan, sahabatku yang melihat kejadian itu. Geram, malu, dan lucu, semuanya campur aduk jadi satu.
“Ada apa tadi di luar?” tanya Janu, penasaran.
“Ada orang marah-marah.”
“Gara-gara apa?”
“Mungkin karena aku bercanda dengan perempuannya.”
“Bicara apa saja dia?”
“Entahlah.”
“Pipi kirinya jadi sasaran Jan,” potong Rizki, dengan mengarahkan dagunya ke wajahku.
Janu terhenyak dan Ardi naik darah.
“Kita cari anaknya sekarang!” Hemat Ardi yang seketika itu wajahnya menjadi merah.
“Nanti saja, jangan sekarang,” cegahku dengan detak jantung yang sedari tadi masih saja belum teratur.
Di depan, acara sarasehan sastra terus berlanjut. Sedangkan di belakang, keadaan menjadi sedikit riuh.
Setelah kondisi di belakang agak tenang, tibalah Ivan dan Tio dari kursi seberang.
“Oi, katanya kau kena pukul? Pacarnya Ayu? Namanya siapa? Anak mana?”
Tio memberondongku dengan pertanyaannya. Aku hanya menganggukkan kepala lantas mengangkat bahu.
Tio, temanku yang satu ini sangat dekat sekali dengan hal-hal yang berbau mistik. Dan Ardi memulai lagi,
“Sepertinya dia memang berisi.”
Tentu saja Tio meng-iya-kan.
Kursi belakang kembali riuh dan aku masih diinterogasi. Aku menjawab sekenanya, dan sesingkat-singkatnya, karena aku memang masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi di luar ruangan tadi. Wajahku kena tinju, pikirku. Dan, aku masih ingat kapan terakhir kali aku berkelahi. Ya, ketika aku masih duduk di kelas 3 SMP, itu terakhir kalinya.
Aku memang tidak gemar berkelahi, namun bagaimana bisa, aku yang sudah sebesar ini masih bisa kena pukul orang. Apalagi gara-gara soal sepele semacam itu. Rizki, Janu, Ardi, dan Tio pun tak henti-hentinya memojokanku, agar aku membalas perlakuan pemuda itu. Tanpa harus memandang dia kekasih temanku.
Pikiranku benar-benar tidak karuan saat itu. Dan, entah sejak kapan telepon genggamku bergetar. Setelah aku menyadarinya, ada dua pesan masuk tanpa nama. Dua pesan itu mengatas-namakan Ayu dan terus menyebut-nyebutkan nama: ayah, yang ternyata nama panggilan yang dipakai oleh Ayu kepada kekasihnya itu, pemuda yang belum lama menghantam pipi kiriku. Ayah, nama panggilannya. Aku sedikit terkekeh karena nama panggilan itu, sekaligus terheran ketika selesai membaca kedua pesannya.

***
Pesan 1: Yu, aku minta maaf atas kejadian tadi. Semua itu gara-gara kamu, karena mencolek pipiku dan Ayah tahu. Ayah itu nggak suka kalau aku sampai disentuh, disenggol, dicolek, ditabrak sama cowok, siapapun itu. Ayah itu bermaksud menjaga aku, biar nggak gampang bersentuhan sama cowok, walaupun itu nggak sengaja. Ketika Ayah sedang nggak sama aku pun, dia tahu apa yang terjadi sama aku. Ayah itu punya kebatinan yang tajam. Tolong, kejadian ini nggak usah dibesar-besarkan. Nggak usah diceritakan ke siapa-siapa. Takutnya kalau masalah ini dibesar-besarkan, ada apa-apanya, kamu yang bahaya Yu. Ayah orangnya nekat banget. Riwayatnya juga mantan preman, sampai pernah nusuk 3 orang di Cilacap. Sekali lagi aku minta maaf ya!
“Kau kenapa, tersenyum-senyum seperti itu?” Rizki mengagetkanku.
“Ini, si Ayu SMS,” sembari kusodorkan telepon genggamku padanya.
Tio, Ardi, dan Janu turut serta menyodorkan kepalanya ke layar telepon genggamku.
“Wah, sepertinya ilmumu belum seberapa jika dibandingkan dengannya,” ledek Janu pada Tio.
“Baik. Aku harus cari tahu siapa gurunya. Bha-ha-ha,” balas Tio.
“Aduh,” Rizki menggeleng-gelengkan kepalanya, “baru juga pacaran, bagaimana kalau nanti sudah berkeluarga? Repot, repot. Pasti setiap cowok yang bersentuhan dengan Ayu kena tinju. Orang yang hanya bersalaman dengan Ayu, pasti juga kena tinju. Bisa-bisa Bapaknya Ayu pun kena tinju.”
Pesan 2: Tolong ya Yu, masalah ini jangan sampai dibesar-besarkan. Takutnya kamu juga diapa-apain Ayah dari jauh. Ayah sih orangnya kalau ditantang nggak takut sama sekali, malah tambah nekat. Aku bukan sedang pamer, tapi Ayah orangnya memang keras. Dari kecil dia sudah biasa bertapa. Dia turunan Jawa asli, masih berdarah Majapahit.
“Ha-ha-ha. Ini curiculum vitae pacaranya si Ayu? Dikira kita ngeper. Hah?” Janu memulai lagi.
“Tenang, tenang. Kita akan kirim sesuatu ke dia. Pesan itu jangan dulu dihapus!” Tegas Tio dengan wajah yang sedikit serius.
“Belum tahu dia, Prabu Siliwangi siapanya Ayahku,” lanjut Janu.
“Ah. Aku tidak ingin main-main. Kalau memang kalian berani, sekarang lebih baik kita cari dia!” Ardi bangkit dengan wajah yang kembali merah.
“Ar, Ar, Ar. Tahan dulu,” Ivan yang sedari tadi diam tiba-tiba mengeluarkan suaranya, “jika dia dan anak buahnya memulai, baru kita bertindak. Untuk sekarang, kita diam dan tunggu saja apa yang akan dia lakukan.”
Ardi kembali duduk dan omongan Ivan ternyata membuat kami semua diam, tidak lagi membicarakan kejadian di luar ruangan itu sampai acara selesai, pukul 03.00 pagi.

***
Setibanya di kos, aku tidak bisa langsung memejamkan mata. Kepalaku rasanya masih belum bisa tenang. Kepalaku terus-menerus menggambarkan bagaimana pemuda itu menggeretakku dan seketika itu aku seperti tersihir, sehingga membuat wajahku menjadi sasaran tinjunya tanpa sempat membalasnya. Sebenarnya, akibat dari tinju itu tidak seberapa dan sama sekali tidak mengubah bentuk wajahku. Tapi, peristiwa itu disaksikan oleh teman-temanku, juga Ayu. Harga diri seorang lelaki kiranya patut dijadikan pertimbangan untuk melanjutkan persoalan ini. Tapi, masih pantaskah gara-gara hal sepele semacam itu, kemudian harga diri dijadikan alasan? Dan, aku pun tak tahu akibatnya nanti, jika aku bersikeras mengedepankan harga diriku. Ah, apa yang mesti kulakukan?
Entah mengapa, sesaat sebelum mataku terpejam, rasa-rasanya aku ingin kembali membaca kedua pesan itu. Dan, seperti dengan sendirinya tanganku menekan-nekan keypad telepon genggamku. Setelah selesai membacanya aku kembali terkekeh-kekeh dan merasa aneh. Aku memang masih heran sekaligus meragukan hal-hal mistik yang dimiliki pemuda itu. Ah, kepalaku kembali terusik.
Aku berpikir, mungkin Ayu hanya mengada-ngada saja, supaya masalah ini selesai sampai di sini. Agar aku diam dan rela menerima perlakuan kekasihnya. Bah, tidak akan. Peringatan Ayu sepertinya malah menguatkan tekadku untuk membalas perlakuan kekasihnya itu. Lihat saja besok di kelas. Bagaimana jika pipi kirinya Ayu itu, aku cium. Apa yang akan diperbuat oleh kekasihnya itu. Ha-ha-ha-ha.
Aku belum sampai lelap, kemudian dibangunkan oleh getaran telepon genggamku. Tanda pesan masuk. Aku buka pesannya, dan berbunyi seperti ini: Yu, kata Ayah, Ayah baru saja selesai meditasi. Ayah dapat petunjuk, siapa-siapa aja yang menyaksikan kejadian itu, seperti Rizki dan Ivan. Hasil meditasinya, kata Ayah, si Rizki lahir hari Senin Pon, dan si Ivan Sabtu Pahing. Kamu sendiri lahirnya hari Jum’at Kliwon.
Aku mengingat-ngingat hari lahirku. Dan benar, Jum’at Kliwon adalah hari lahirku.


Purwokerto, 11-12 Muharam 1435 H
*Cerpen ini dimuat di harian Satelit Post

Comments

Populer Post

KEHIDUPAN DAN “PELAJARAN MENGARANG” DARI SANG PENGARANG

Isi Kepala Sapto*

Hidup Hanya Singgah untuk Memandang dan Mendengarkan

Menengok Adat Suku Sasak di Kampung Sade

Pembelaan yang Datang Terlambat