Pembelaan yang Datang Terlambat

Oleh: Wahyu Noerhadi

Sebetulnya, cukup lama saya ingin mengungkapkan hal ini. Sebab, jika terus-terusan dipendam, rasanya sangat tidak nyaman. Ibarat bersin yang gagal.
Begini: saat ujian skripsi—di kampus saya disebut dengan istilah munaqosyah—saya betul-betul ingin menanggapi pendapat, kritik, dan saran dari para penguji atas skripsi saya yang berjudul “Komunikasi Sufistik dalam Kajian Realisme Magis (Telaah Realisme Magis Wendy B. Faris terhadap Kumpulan Cerpen Lukisan Kaligrafi Karya A. Mustofa Bisri)”. Dalam beberapa—sesungguhnya hanya satu—hal, saya menyetujui saran para penguji atas skripsi saya itu. Terutama soal metodologi penelitian yang harus dipindahkan ke bab 3, dan tidak lagi di bab 1 (pendahuluan). Pada bagian itu, saya memang keliru, karena menggunakan buku panduan skripsi yang belum direvisi. Ya, meskipun skripsi yang susun itupun tentunya berdasar pada referensi skripsi-skripsi sebelumnya, baik dari kampus sendiri maupun kampus lainnya, semisal UI, UGM, dan UIN SuKa. Dan, karena skripsi saya itu menggunakan metode penelitian kualitatif (library research), maka saya pikir penjelasan mengenai metode penelitian itu disampaikan dengan ringkas di bab pendahuluan. Pikiran saya itu ternyata keliru, dan saya memang harus menuruti saran dari para penguji untuk memindahkannya di bab 3. Sehingga profil pengarang (A. Mustofa Bisri) dan gambaran umum kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi—sebagai dua hal yang perlu ada dalam komunikasi teks (sastra)—yang tadinya diuraikan di bab 3, sekarang mesti saya pindahkan di awal bab 4.
Kemudian, kritik dari penguji utama yang menyatakan bahwa pemahaman peneliti (saya sendiri) mengenai salah satu dampak negatif yang ditimbulkan modernisme—yakni, lahirnya dominasi ilmu-ilmu empiris-positivistik terhadap nilai-nilai moral dan agama yang meningkatkan kekerasan fisik dan hadirnya bentuk depresi mental—yang sedikit saya singgung di bab pendahuluan itu, katanya kontradiktif dengan pemahaman saya tentang realisme magis yang juga berdasar pada term ‘empiris’. Kata penguji utama, di satu sisi peneliti menyetujui empirisme dalam cerpen-cerpen Gus Mus dalam konteks realisme magis, tetapi di sisi lain menolak empirisme yang menjadi dampak dari modernisasi. Intinya, keduanya berdasar pada pengalaman, namun mengapa peneliti seolah menolak (ilmu-ilmu) empiris modernisme. Ya, mendengar itu, saya manggut-manggut dan merasa sangsi antara menyetujuinya atau tidak. Mengapa demikian? Sebab, sampai saat ini saya masih begitu kesulitan untuk mengumpul-satukan maksud dari penguji utama itu.
Selanjutnya, saya hakul yakin bahwasanya kebanyakan—saya ulangi, kebanyakan—penguji skripsi tidak membaca skripsi mahasiswa yang akan diujinya. “Lagi pula buat apa repot-repot membaca—apalagi sampai tuntas—skripsi mahasiswa, yang kami (para penguji) sudah terbiasa menghadapinya. Toh, skripsi mahasiswa hasilnya tidak jauh-jauh. Seperti itu-itu terus. Dan memang masih banyak pekerjaan yang lebih penting ketimbang membaca hasil skripsi mahasiswa.” Ya, itulah pikiran buruk saya. Dan dalam sidang skripsi pun, tak jarang para penguji melemparkan pertanyaan sekadarnya pertanyaan; bertanya seperti asal bertanya saja. Formalitas? Yep! Hal itu terbukti saat penguji skripsi saya menyarankan agar saya hanya mengkaji satu cerpen saja. Padahal, di dalam skripsi itu sudah saya sampaikan bahwa elemen atau karakteristik realisme magis tidak terwakili jika hanya dengan mengkaji satu cerpen saja. Maka itu, saya meneliti satu kumpulan cerpen.
Terakhir, pendapat dari penguji kedua (sekretaris sidang) yang lebih-kurang mengatakan: “Buat apa Anda meneliti objek (cerpen) yang sudah jelas-jelas bisa dikatakan atau terkategorikan ke dalam karya realisme magis?” Dan, yang paling parah, saya disuruh merevisi perumusan masalah dalam skripsi saya itu, dengan membuang satu pertanyaan tentang kadar realisme magis. Jawabannya—yang mewakili pertanyaan dan saran dari penguji kedua—seperti ini: Pak, saya mafhum, bahwa karya-karya yang mengangkat mistisisme Islam sebagai tradisi dalam tasawuf, jika dilihat dari kacamata Barat memang dikatakan sebagai karya realisme magis, seperti halnya karya cerpen Danarto. Oleh karena itu, saya meneliti kadar realisme magisnya; apakah kadar realisme magis dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi—yang disingkat LK—cukup  kuat? Itu yang hendak saya tanyakan atau rumuskan dalam skripsi saya, Pak. Dan hasilnya memang menunjukkan bahwa kumpulan cerpen LK bisa dikatakan karya realisme magis, dengan kadar yang kuat pada beberapa cerpen, sedang di beberapa cerpen lainnya kadarnya tidak begitu kuat. Jadi, realisme magis kumpulan cerpen LK itu berbeda dengan novel Midnight’s Children (Anak-anak Tengah Malam) dan The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan) karya Salman Rushdie, atau One Hundred Years of Solitude (Seratus Tahun Kesunyian) masterpiece-nya Gabriel Garcia Marquez (Eyang Gabo), yang meraih Nobel Sastra tahun ’82. Ya, novel-novel yang tergolong ke dalam karya realisme magis diuraikan secara detail oleh Wendy B. Faris dalam bukunya: Ordinary Enchantments: Magical Realism and the Remystification of Narrative (2004), yang mana teori naratif dalam buku itu akhirnya menjadi pisau analisis yang saya gunakan dalam penelitian.
Ya, begitulah. Tanggapan atau pembelaan saya ini memang tidak saya sampaikan waktu ujian (sidang) skripsi. Saya baru bisa mengungkapkannya sekarang. Menyesal memang. Lha mau gimana lagi, wong tiap kali ngomong saja selalu disela dengan: “Maaf Mas, saya potong...”. Ya sudah, saya akhirnya iya-iya saja—pura-pura setuju—dan prosesi sidang skripsi itu memang menjadi lebih cepat. Dan, pembelaan yang datang terlambat ini, saya tahu, tidak akan mengubah apapun. Nilai, misalnya. Tapi, soal nilai, toh saya tidak terlalu mementingkannya. Jujur. Selain itu, pembelaan ini pun memang iseng-isengan saja, barangkali seperti isengnya saya menggarap skripsi. Bercanda...


Halaman Judul Skripsi

Comments

Populer Post

KEHIDUPAN DAN “PELAJARAN MENGARANG” DARI SANG PENGARANG

Isi Kepala Sapto*

Hidup Hanya Singgah untuk Memandang dan Mendengarkan

Menengok Adat Suku Sasak di Kampung Sade