KEHIDUPAN DAN “PELAJARAN MENGARANG” DARI SANG PENGARANG

(Analisis Cerpen “Pelajaran Mengarang” Karya Seno Gumira Ajidarma)
oleh Wahyu Noerhadi

A.    Pendahuluan
Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta yang berarti teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar sas yang berarti “instruksi” atau “ajaran”.[1] Sastra adalah pengungkapan realitas kehidupan masyarakat secara imajiner atau secara fiksi. Dalam hal ini, sastra memang representasi dari cerminan masyarakat. Senada dengan apa yang diungkapkan oleh George Lukas bahwa sastra merupakan sebuah cermin yang memberikan kepada kita sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik.[2]
Sastra dapat pula diartikan sebagai sebuah tulisan, karangan, bahasa atau kata-kata yang memiliki nilai estetika atau keindahan. Melalui karya sastra manusia dapat mempelajari dan menghayati setiap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya, karena karya sastra pun lahir dari kehidupan itu sendiri.
Fungsi dari sastra itu sendiri di antaranya memberikan hiburan dan kemanfaatan. Memberikan hiburan di sini dalam artian menyajikan suatu keindahan, memberikan makna terhadap kehidupan: kematian, kesengsaraan, maupun kegembiraan. Namun, karya sastra memiliki arti tersendiri bagi pembacanya, seperti menurut Agustinus Andoyo Sulyantoro, bahwa pembaca harus dapat menanggapi dan menikmati karya sastra itu dengan seluruh emosi. Hal ini sejalan dengan proses terciptanya karya sastra itu. Dalam artian karya hadir karena dicipta dengan emosi pengarang atau penyair.[3]
Sastra juga berfungsi memberikan kebermanfaatan secara rohaniah. Dengan membaca sastra, kita memperoleh wawasan yang dalam tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual dengan cara yang khusus (Luxemberg, dkk., 1989). Herman J. Waluyo (2006) menyatakan bahwa sastra berfungsi sebagai wahana katarsis, yaitu pencerahan jiwa atau penyadaran jiwa terhadap lingkungan masyarakat atau terhadap keterbatasan individu yang seringkali melabrak posisi Tuhan.
Rachmat Djoko Pradopo mengatakan bahwa karya sastra yang bermutu seni ialah yang imajinatif, berseni, memperlihatkan orisinalitas penciptaan, kreatif, dan bermutu “seni”. Apabila karya sastra tidak memenuhi hakikat fungsinya (dulce et utile[4]), maka akan dinilai tidak bermutu.[5] Jadi, karya sastra dapat “menyenangkan” karena estetika yang direalisasikan melalui bahasa, dan juga “berguna” karena isi yang terkandung di dalamnya bermakna bagi pembacanya. Pemahaman demikian berangkat dari anggapan dasar bahwa karya sastra merupakan penggunaan bahasa yang mengandung unsur kepuitisan dan sekaligus makna. Dengan begitu, seperti yang dikatakan Pradopo bahwa karya sastra menjadi struktur yang sangat kompleks (via Achid, 2010: 6).
Sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu. Biasanya kesusastraan dibagi menurut daerah geografis atau bahasa. Jadi, yang termasuk dalam kategori sastra adalah: novel, cerita/cerpen (tertulis/lisan), syair, pantun, sandiwara/drama, lukisan/kaligrafi.
Adapun cerpen mengalami perkembangan yang sangat pesat ketika masa penjajahan Jepang. Pada masa itu segala sesuatu dituntut untuk serba cepat. Karena pengaruh dari keadaan, maka dalam mengungkapkan perasaannya pengarang juga mengikuti keadaan. Pengarang mengungkapkan segala sesuatunya secara singkat dan memilih medianya, yaitu ke dalam bentuk cerpen.
Cerpen singkatan dari cerita pendek. Oleh karena itu bentuknya yang pendek, maka yang ditampilkan oleh cerpen hanyalah sebagian saja dari kehidupan yang dialami oleh tokoh cerita. Sebuah cerpen pada dasarnya menuntut adanya perwatakan yang jelas. Tokoh merupakan inti sorotan di dalam cerita. Unsur penokohan dalam cerpen terasa lebih dominan, daripada unsur yang lain. Dengan membaca cerpen, seorang pembaca akan memahami karakter tokoh dalam cerita. Jadi, membaca cerpen bukan hanya sekadar mengetahui jalan cerita lebih dari itu; mengetahui manusia dengan sifat-sifatnya.
Cerpen memang fiktif, namun ide dari para pengarang bermula dari realitas sosial, yakni suatu ruang yang ada pada dirinya ataupun ada di sekitarnya. Kita dapat melihat berbagai macam perbedaan ras, suku, agama, dan lainnya melalui cerpen-cerpen yang dituliskan oleh pengarang. Kepercayaan, keyakinan, konsep, perasaan, dan jalan hidup menjadi sangat penting, meskipun dalam itu muncul permasalahan.[6]
Suatu karya sastra dapat dikategorikan ke dalam cerita pendek terlebih dahulu harus dilihat dari ruang lingkup permasalahan yang dihadirkan dalam karya sastra tersebut. Jamak[7]nya cerpen hanya akan menampilkan satu pokok permasalahan saja dalam cerita. Karena permasalahan yang ditampilkan hanya satu atau permasalahannya tunggal, maka tidak memungkinkan tumbuhnya digresi[8] dalam cerita pendek. Predikat pendek pada kata cerita pendek bukan ditentukan oleh banyaknya halaman untuk mewujudkan cerita itu atau sedikitnya tokoh yang terdapat dalam cerita itu, melainkan lebih disebabkan oleh ruang lingkup permasalahan yang ingin disampaikan oleh bentuk karya sastra tersebut. Jadi, sebuah cerita pendek belum tentu dapat digolongkan ke dalam jenis cerita pendek apabila tidak memenuhi ruang lingkup permasalahan yang dituntut oleh cerita pendek
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa cerpen hanya menceritakan permasalahan tunggal. Mengenai jumlah halaman tidak akan berpengaruh banyak terhadap jenis karya sastra ini. Cerita yang pendek belum tentu cerita pendek dan cerita agak panjang pun kadang-kadang dapat dikategorikan sebagai cerpen jika permasalahannya tunggal. Oleh karena permasalahannya tunggal, maka cerpen cenderung pendek. Sebagaimana penuturan Cinung Azizy bahwa cerpen itu berasal dari anekdot[9]; sebuah situasi yang digambarkan singkat dan cepat sampai pada maksudnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa cerita adalah sebuah tuturan yang membentang terjadinya suatu hal, sedangkan pendek berarti kisah pendek (kurang dari 10.000 kata) yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam situasi atau suatu ketika.[10]
Namun ada pendapat yang menentukan panjang pendeknya cerpen, khususnya berkaitan dengan jumlah kata yang digunakan, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat. Cerpen biasanya menggunakan 15.000 kata atau 50 halaman (Guerin, 1979). Sedangkan Nugroho Notosusanto menyatakan bahwa jumlah kata yang digunakan dalam cerpen sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi rangkap (Zulfahnur, 1985).
Cerpen yang berjudul Sepenuhnya Karena Dia Anakku hanya terdiri atas 5 halaman, 80 baris, spasi 1,5. Peristiwa yang disajikan juga sangat singkat. Dari uraian cerpen tersebut dapat disimpulkan bahwa cerpen adalah cerita yang panjangnya kira-kira 17 halaman kuarto, spasi rangkap, isinya padat, lengkap, memiliki kesatuan, dan mengandung efek kesan yang mendalam.[11]
Menurut Yudiono K.S. (2007: 27) “dalam hal sastra, sebuah karya sastra dapat diterangkan atau ditelaah secara tuntas apabila diketahui asal-usulnya yang bersumber pada riwayat hidup pengarang dan zaman yang melingkupinya”.[12] Pada kesempatan kali ini penulis akan menilik salah seorang pengarang dan menganalisis karangan/cerpennya.
Cerpen “Pelajaran Mengarang” karya Seno Gumira Ajidarma pertama kali dimuat di harian Kompas 5 Januari 1992, dan terpilih sebagai cerpen pilihan Kompas pada tahun 1993.[13] Pelajaran Mengarang” dipilih redaksi sebagai cerpen terbaik, karena cerpen itu mampu menyembunyikan klimaks dalam rentetan kilas-balik. Seorang anak perempuan dipaksa menulis karangan yang mana judul-judul yang diberikan ibu gurunya berseberangan dengan kehidupan nyatanya, sehingga si bocah tak pernah menyelesaikan karangannya, karena tidak tahu harus menulis apa. Yang ada di kepalanya hanyalah kehiduan kelam, dan sama sekali tidak ada sepercik pun kehidupan seperti yang diimpi-impikan anak-anak pada umumnya. Ketika membaca cerpen ini pun kita merasakan bahwa adanya ledakan di bagian akhir cerita, ketika kita yakin bahwa si bocah benar-benar anak seorang pelacur.[14]

B.     Biografi Pengarang
Seno Gumira Ajidarma, lahir di Boston, 19 Juni 1958. Ayahnya, Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo, seorang guru besar Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada. Sastrawan yang satu ini adalah sosok pembangkang. Dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas, Seno gemar membangkang terhadap peraturan sekolah, dan ia sempat dicap sebagai penyebab setiap kasus yang terjadi di sekolahnya.
Setelah lulus SMP, Seno mengembara selama tiga bulan di Jawa Barat, kemudian menjadi buruh pabrik kerupuk di Medan, dan akhirnya ia kembali pulang untuk melanjutkan pendidikannya hingga menjadi Sarjana Fakultas Film dan Televisi pada tahun 1994 di IKJ (Institute Kesenian Jakarta). Pada tahun 2000, ia mendapat gelar Magister Ilmu Filsafat di UI (Universitas Indonesia), dan di UI pula gelar Doktor Ilmu Sastra diraihnya pada tahun 2005.
Beberapa penghargaan yang pernah diperolehnya antara lain: SEA Write Award (1987), Dinny O’Hearn Prize for Literary (1997), dan Khatulistiwa Literary Award (2005). Aktivitas dan kesibukannya sekarang, yaitu: Wartawan, Fotografer, Dosen, dan tentu saja Penulis.
Sampai saat ini Seno telah menghasilkan puluhan cerpen yang dimuat di beberapa media massa. Cerpen Pelajaran Mengarang terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas 1993.[15]

C.    Sinopsis Cerpen Pelajaran Mengarang
Cerpen berjudul Pelajaran Mengarang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma mengambil setting suasana kehidupan masyarakat perkotaan. Cerpen ini mengisahkan kehidupan sebuah keluarga broken home. Diceritakan seorang anak pelacur yang bernama Sandra, yang merupakan murid kelas V Sekolah Dasar sangat membenci pelajaran mengarang yang diberikan oleh guru Bahasa Indonesia yang bernama Bu Guru Tati.
Bu guru Tati memberikan tiga pilihan judul yang membuat Sandra harus benar-benar mengarang, karena dalam kenyataannya dia memang tidak mengalami kejadian yang sesuai dengan ketiga judul tersebut. Di sinilah konflik cerita bermulai, tokoh Sandra membenci tokoh Bu Guru Tati. Sebab, Sandra tidak tahu harus menuliskan apa. Setelah ia merenungi tentang kejadian yang dia alami dalam kesehariannya akhirnya ia hanya menulis sepenggal kalimat yang berbunyi Ibuku Seorang Pelacur…
           
D.    Unsur-unsur Intrinsik Cerpen Pelajaran Mengarang
Unsur intrinsik pada sebuah cerpen adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta dalam membuat cerita. Kepaduan antar berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah cerpen terwujud. Atau sebaliknya, jika dilihat dari sudut kita sebagai pembaca, unsur-unsur cerita inilah yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah cerpen.
Unsur yang dimaksud untuk menyebutkan sebagian saja, misalnya cerita, peristiwa, alur (plot), penokohan, tema, latar (setting), sudut pandang penceritaan (point of view), bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain.[16] Unsur-unsur intrinsik dalam cerpen Pelajaran Mengarang antara lain, sebagai berikut:

1.               Tema
Tema dalam sebuah karya sastra, fiksi hanyalah merupakan salah satu dari sejumlah unsur pembangunan cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah kemenyeluruhan[17]. Cerpen Pelajaran Mengarang bertemakan kehidupan sosial yang dialami oleh satu keluarga, yang dimana seorang Ibunya itu bekerja sebagai pelacur dan anaknya duduk di bangku kelas V Sekolah Dasar.
“..Ketika berpikir tentang keluarga kami yang bahagia, Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan di meja, di lantai, bahkan sampai ke atas tempat tidur. Tumpahan bir berceceran di atas kasur yang sepreinya terseret entah ke mana. Bantal-bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus menerus mendengkur, bahkan seketika sandra pulang dari sekolah.”
“Lewat belakang, anak jadah, jangan ganggu tamu Mama!” (hal. 1).
           
Kutipan di atas memaparkan sebuah kehidupan seorang anak yang hidup dengan seorang ibu yang berprofesi sebagai pelacur. Di mana tergambar sebuah kehidupan soisal yang semestinya tidak dijumpai oleh seorang anak.

2.               Alur (plot)
Alur atau plot adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahap-tahap peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.[18] Alur dalam cerpen Pelajaran Mengarang menggunakan alur campuran di mana terdapat alur maju (progresif) dan alur mundur (regresif) di dalam cerita, tetapi lebih dominan menggunakan alur mundur karena dalam cerita, Sandra si tokoh utama, selalu membayangkan mengenai judul-judul yang di berikan oleh Ibu Guru Tati untuk mengarang, namun selalu saja tidak sesuai dengan kehidupan yang dialami Sandra. Berikut alur (plot) dalam cerpen Pelajaran Mengarang:
“..Jangan rewel anak setan! nanti kamu kuajak ke tempat ku kerja, tapi awas ya? kamu tidak usah ceritakan apa yang kamu lihat pada siapa-siapa, ngerti ? Awas!.” (hal. 2).
Kutipan di atas menggunakan alur mundur, ketika Sandra mengingat kembali masa yang telah lewat, ketika ia dititipkan oleh Ibunya kepada Mami (yang sudah dianggap oleh Sandra sebagai Neneknya). Begitu juga cerita ketika menanyakan keadaan Papanya. Alur yang digunakan masih alur mundur.
“..Tentu saja punya anak setan! Tapi, tidak jelas siapa! Dan kalau jelas siapa  belum tentu ia mau jadi Papa kamu! Jelas? Belajarlah untuk hidup tanpa Papa! Taik kucing dengan Papa!” (hal. 2).

3.               Latar (setting)
Latar adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita dan dalam lakuan karya sastra.[19] Berikut latar (setting) dalam cerpen Pelajaran Mengarang:
a.       Latar tempat
Ketika di kelas:
“...Ingin rasanya Ia lari keluar dari kelas.” (hal. 1).
“...Ibu Guru Tati mondar-mandir di depan kelas.” (hal. 2).
“...Beberapa diantaranya sudah selesai dan setelah menyerahkan segera berlari keluar kelas.” (hal. 4).
                                 Ketika di rumah:
“…Sandra mendapatkan gambaran sebuah rumah berantakan.” (hal. 1).
“…Ini titipan si Marti. Aku tak mungkin meninggalkanya sendri di rumah.” (hal. 2).
“…Di rumahnya sambil nonto RCTI, Ibu Guru Tati memeriksa pelajaran murid-muridnya.” (hal. 4).
                                  Ketika di sekolah:
“…Bahkan ketika Sandra pulang dari Sekolah.” (hal. 1).
                             Di Hotel:
“…Sandra tahu, setiap kali pager ini menyebut nama hotel, nomer kamar dan sebuah jam pertemuan, Ibunya akan pulang terlambat,” (hal. 4).
                                 Di Plaza:
“…Setiap hari minggu, wanita itu mengajaknya jalan-jalan ke plaza ini dan plaza itu.” (hal. 3).
                                 Di ruang depan:
“…Di ruang depan, Ia muntah-muntah.” (hal. 3).
                                 Di tempat tidur atau ranjang:
“…Botol-botol beresakan di meja bahkan sampai ke tempat tidur.” (hal. 1).
“…Ia juga hanya berbisik malam itu, ketika dipindahkan di kolong ranjang.” (hal. 4).
“…Sandra tak akan pernah mendengar suara lenguhannya yang panjang maupun yang pendek di atas ranjang.” (hal. 4).
b.      Latar waktu:
                                 60 menit: “…Kalian punya waktu 60 menit.” (hal. 1).
                                 10 menit: “…Sepuluh menit segera berlalu.” (hal. 1).
                                 15 menit: “…Lima belas menit telah berlalu.” (hal. 1).
                                 20 menit: “…Dua puluh menit telah berlalu.” (hal. 2).
                                 30 menit: “..Tiga puluh menit lewat tanpa permisi.” (hal. 2).
                                 Malam:
“…Ia pernah terbangun malam-malam.” (hal 3).
“…Suatu malam wanita itu pulang merangkak karena mabuk.” (hal. 3).
“…Ia juga hanya berbisik malam itu, ketika terbangun karena dipindahkan ke kolong meja.” (hal. 4).
                                 Hari minggu:
“…Setiap hari minggu wanita itu mengajaknya jalan-jalan ke plaza ini atau plaza itu.” (hal. 3).

4.               Tokoh dan Penokohan
Nurgiantoro (1995) mengatakan bahwa tokoh-tokoh dalam cerita fiksi dibedakan dalam beberapa jenis berdasarkan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan sudut pandangan dan tinjauan, seperti tokoh utama dan tambahan, tokoh protagonis, antagonis, tokoh sederhana dan tokoh bulat, tokoh statis dan tokoh berkembang serta tokoh tipikal dan tokoh netral.
Peranan dan fungsi tokoh menurut teori umum tentang novel, cerpen, dan drama sangat penting untuk memahami seluk beluk novel, cerpen, dan drama tersebut (Laurenson dan Swingewood, 1972: 1993).[20] Dalam cerpen Pelajaran Mengarang  terdapat 5 tokoh yaitu : Sandra, Bu Guru Tati, Marti (Ibu Sandra), Mami (Nenek Sandra), dan anak-anak kelas V SD (teman-teman Sandra). Berikut analisis dari setiap tokoh adalah sebagai berikut:
a.       Sandra
Sandra adalah tokoh utama dalam cerpen Pelajaran Mengarang, ia terlahir sebagai anak seorang pelacur. Penokohannya  anak yang berumur sepuluh tahun. Karakternya lugu, penurut, sensitif, dan patuh. Kutipan yang menguatkan pernyataan ini adalah sebagai berikut:
“Sepuluh menit segera berlalu. Tapi Sandra, 10 Tahun, belum menulis sepatah kata pun di kertasnya. Ia memandang keluar jendela.” (hal. 1).
“Sandra selalu belajar untuk menepati janjinya dan ia memang menjadi anak yang patuh”. (hal. 3).

b.      Ibu Guru Tati
Ibu Guru Tati adalah Guru bahasa Indonesia Sandra. Dialah yang membuat Sandra menjadi membenci pelajaran mengarang, karena judul-judul yang di berikannya membuat sandra membuat kembali mengingat kehidupan yang dialaminya. Kararakternya merupakan sosok seseorang yang terlalu cepat dalam mengambil suatu kesimpulan. Kutipan yang menguatkan pernyataan ini adalah sebagai berikut:
“Di rumahnya, sambil nonton RCTI, Ibu Guru Tati yang belum berkeluarga memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Setelah membaca separo dari tumpukan karangan itu, Ibu guru Tati berkesimpulan, murid-muridnya mengalami masa kanak-kanak yang indah. (hal. 4).
                       
Ia memang belum sampai pada karangan Sandra, yang hanya berisi kalimat sepotong: kalimat yang berbunyi ibuku seorang pelacur...

c.       Marti (ibu Sandra)
Marti adalah Ibu dari Sandra, dan juga seorang pelacur yang berwajah cantik, bermata kuyu, dan terlihat pucat karena sering mabuk-mabukan dan merokok. Karakternya seorang yang penyayang pada anaknya, pemarah dan juga sangat menutup diri terhadap pengalaman pahit yang dialaminya. Kutipan yang menguatkan pernyaataan ini adalah sebagai berikut:
“Tiga puluh menit lewat tanpa permisi. Sandra mencoba berpikir tentang “Ibu”. Apakah ia akan menulis tentang ibunya? Sandra melihat seorang wanita yang cantik. Seorang wanita yang selalu merokok, selalu bangun siang, yang kalau makan selalu pakai tangan dan kaki kanannya selalu naik ke atas kursi.”
Apakah wanita itu Ibuku? Ia pernah terbangun malam-malam dan melihat wanita itu menangis sendirian.“Mama, mama, kenapa menangis, Mama?” Wanita itu tidak menjawab, ia hanya menangis, sambil memeluk Sandra. Sampai sekarang Sandra masih mengingat kejadian itu, namun ia tak pernah bertanya-tanya lagi. Sandra tahu, setiap pertanyaan hanya akan dijawab dengan “Diam, Anak Setan!” atau “Bukan urusanmu, Anak Jadah” atau “Sudah untung kamu kukasih makan dan kusekolahkan baik-baik. Jangan cerewet kamu, Anak Sialan!”
Suatu malam wanita itu pulang merangkak-rangkak karena mabuk. Di ruang depan ia muntah-muntah dan tergelatak tidak bisa bangun lagi. Sandra mengepel muntahan-muntahan itu tanpa bertanya-tanya. Wanita yang dikenalnya sebagai ibunya itu sudah biasa pulang dalam keadaan mabuk”. (hal. 2).
                       
d.      Mami (yang dianggap Sandra sebagai neneknya)
Mami adalah seorang germo yang rajin berdandan agar nampak selalu cantik. Mami mempunyai karakter kasar dan menyebalkan. Kutipan yang menguatkan pernyataan ini adalah sebagai berikut:
“Dua puluh menit berlalu. Ibu Guru Tati mondar-mandir di depan kelas. Sandra mencoba berpikir tentang sesuatu yang mirip dengan “Liburan ke Rumah Nenek” dan yang masuk ke dalam benaknya adalah gambar seorang wanita yang sedang berdandan di muka cermin. Seorang wanita dengan wajah penuh kerut yang merias dirinya dengan sapuan warna yang serba tebal. Merah itu sangat tebal pada pipinya. Hitam itu sangat tebal pada alisnya. Dan wangi itu sangat memabukkan Sandra”. (hal. 2).

e.       Anak-anak kelas V Sekolah Dasar (teman-teman kelas Sandra)
Teman-teman Sandra tidak terlalu banyak diceritakan dalam cerpen ini, hanya diketahui sebagai teman sekelas Sandra yang mengalami masa kecil yang indah, dan mampu dengan mudah mengatasi pelajaran mengarang. Kutipan yang menguatkan pernyataan ini adalah sebagai berikut:
“Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan kening berkerut. Terdengar gesekan halus pada pena kertas. Anak-anak itu sedang tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati. Dari balik kacamatanya yang tebal, Ibu Guru Tati memandang 40 anak yang manis, yang masa depannya masih panjang, yang belum tahu kelak akan mengalami nasib macam apa”. (hal. 1).

5.               Sudut Pandang (point of view)
Sudut pandang merupakan cara dan pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi terhadap pembaca (Abrams, 1981: 142).[21] Sudut pandang dianggap sebagai salah satu unsur fiksi yang penting dan menentukan. Sebelum pengarang menulis cerita, mau tak mau pengarang harus telah memutuskan memilih sudut pandang tertentu.[22] Sudut pndang yang sering digunakan dalam sebuah cerita antara lain:
a.       Sudut pandang orang pertama (first person of view)
Pada sudut pandang ini penulis selalu menggunakan “aku” maupun “saya”. Pada sudut pandang ini penulis ikut terlibat dalam cerita.
b.      Sudut pandang orang ketiga (third person of view)
Pada sudut pandang ini menggunaan  kata ganti orang ketiga, yaitu “dia, ia, mereka”. Penulis tidak ikut terlibat dalam cerita, hanya berada di luar cerita, yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebutkan nama atau kata gantinya. Sudut pandang “dia” dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1)   “Dia” serba tahu. Dalam sudut pandang ini, narator dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh “dia”. Narator bersifat serba tahu (omniscient). Mengetahui hal-hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan.
2) “Dia” terbatas, sebagai pengamat. Dalam sudut pandang ini penulis mempergunakan orang ketiga sebagai pencerita yang terbatas hak berceritanya. Tokoh “dia” hanya bercerita apa yang ia lihat.
Dari pengertian sudut pandang di atas, dalam cerpen Pelajaran Mengarang pengarang menggunakan sudut pandang orang ketiga yang serba tahu (omniscient), karena dalam cerpen tersebut penulis menceritakan Sandra, dan menggunakan kata ganti orang ketiga. Seperti dalam kutipan di bawah ini:
“...Sepuluh menit segera berlalu. Tapi Sandra, 10 tahun, belum menulis sepatah kata pun di kertasnya. Ia memandang keluar jendela. Ada dahan bergetar di tiup angin kencang. Ingin rasanya Ia lari keluar dari kelas, meninggalkan kenyataan yang sedang bermain di kepalanya.” (hal. 1).
           
6.               Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan dalam karya sastra merupakan hal yang dianggap sebagai salah satu piranti penting, karena digunakan pengarang untuk mencapai tujuannya, yaitu memberikan ilustrasi apa yang hendak disampaikannya. Gaya bahasa dapat menciptakan sebuah suasana yang berbeda-beda dalam sebuah cerita. Dari sudut pembaca, bahwa gaya bahasa sebuah teks mampu memberikan makna. Cerpen Pelajaran Mengarang gaya bahasa yang digunakan adalah sebagai berikut:
a.       Hiperbola. Sebagaiman kutipan ini:
“...Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja”. (hal. 1).

Kutipan di atas menunjukan gaya bahasa hiperbola atau melebih-lebihkan, seperti pada ‘menulis dengan kepala hampir menyentuh meja’. Menggambarkan bahwa anak-anak menulis dengan serius.
b.      Sarkasme. Sebagaimana kutipan ini:
“...Tentu saja punya, Anak Setan! Tapi, tidak jelas siapa! Dan kalau jelas siapa belum tentu ia mau jadi Papa kamu! Jelas! Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik kucing dengan Papa!” (hal. 1).

Dari kutipan di atas terdapat frasa yang menunjukan kekasaran, misalnya Anak Setan dan taik kucing. Meskipun gaya bahasa yang digunakan bersifat Hiperbola dan Sarkasme namun mayoritas gaya bahasa yang digunakan dalam menyampaikan gagasan dan ide pengarang bersifat lugas dan jelas, sehingga semua yang membaca dapat memahami isi cerita tersebut.[23]
Juga menggunakan gaya bahasa anafora, karena dalam teks cerpen Pelajaran Mengarang ini mengeksplisitkan sesuatu dengan menggunakann “ia” dan “nya”. Dalam teks tersebut semua unsur anaforik harus mnunjukkan pada orang yang sama, misalnya pada teks dibawah ini:
“Setiap kali pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa mendapatkan kesulitan yang besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lainnya.” (hal. 1).
           
7.               Amanat
Cerpen ini memberikan pesan atau amanat yang bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh pembaca. Setelah membaca cerpen Pelajaran Mengarang ini, maka hal yang bisa dijadikan pelajaran, yaitu jika kita menjadi orang tua, jadilah orang tua yang baik. Kita harus memikirkan perasaan, kesejahteraan, dan kebahagiaan anak. Bahkan, jika kita adalah seorang yang tidak baik, dan berada dalam dunia yang hitam, tapi tetaplah menjaga sikap yang baik terhadap orang lain apalagi terhadap anak.
Banyak nilai moral yang bisa dipetik dalam cerpen Pelajaran Mengarang ini, misalnya:
“...Berjanjilah pada Mama, kamu akan jadi wanita baik-baik.” (hal. 3).

Dalam kutipan ini, Mama/Ibu Sandra menyuruh Sandra agar menjadi wanita yang baik, yang tidak seperti Mamanya, karena tentu Mamanya tidak ingin kelak Sandra menjadi seperti dirinya, yang kehidupannya kelam, yang selalu pulang malam dengan bermabuk-mabukan, serta menjadi bunga ranjang para lelaki hidung belang.



E.     Kesimpulan
Cerpen terbaik pilihan Kompas 1993 karya SGA ini, merupakan sebuah cerpen bertemakan kehidupan sosial. Cerpen Pelajaran Mengarang mengisahkan kehidupan  seorang siswi kelas V SD yang sangat membenci pelajaran mengarang, dikarenakan judul-judul yang diberikan oleh gurunya sangat tidak sesuai dengan kehidupan bocah itu, yang memiliki kehidupan tidak seperti teman-temannya. Salah satunya karena bocah itu memiliki ibu seorang pelacur. Dalam cerpen ini pula disampaikan bahwa bagaimana pun seorang Ibu, bahkan seorang yang berprofesi sebagai pelacur dan terkadang bersikap kasar, namun tetap saja akan menyuruh dan menginginkan anaknya menjadi wanita yang baik-baik. Tidak seperti kehidupan ibunya.




[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra, diakses 27 Juni 2013. Dalam bahasa Indonesia, kata sastra biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.
[2]Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra Dengan Ancaman Literasi Kritis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), hal. 12.
[3]Agustinus Andoyo Sulyantoro, “Apresiasi Sastra” dalam Abdul Wachid B.S., dkk., Creative Writing: Menulis Kreatif Puisi, Prosa Fiksi, dan Prosa Non-Fiksi, (Purwokerto: Penerbit Stain Press, bekerjasama dengan Yogyakarta: Buku Litera, 2012), hal. 18.
[4]Istilah ini sesuai dengan pendapat pemikir Romawi, Horatius, dalam bukunya yang berjudul Arts Poetica yang menggunakan istilah “dulce et utile” untuk menjelaskan fungsi sastra. Istilah itu mengacu pada sastra yang mempunyai fungsi ganda, yakni menghibur dan sekaligus bermanfaat bagi pembacanya (Budianta, dkk., 2002). Lihat, Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra Dengan Ancaman Literasi Kritis, hal. 22. 
[5]Rachmat Djoko Pradopo, dalam Abdul Wachid B.S., Analisis Struktural Semiotik: Puisi Surealistis Religius D. Zawawi Imron, (Yogyakarta: Cinta Buku, 2010), hal. 6.
[6]Lihat, Abdul Wachid B.S. dan Arif Hidayat, “Kata Pengantar”, dalam Budi Saputra, dkk., Cinta dan Sungai-sungai Kecil Sepanjang Usia, (Purwokerto: OBSESI Press, 2013), hal. vi-vii.
[7]jamak a lazim; tidak aneh; lumrah; memang sudah demikian halnya : tiap-tiap perjuangan -- memerlukan pengorbanan. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional, 2008),  hal. 612.
[8]digresi /digrési/ n penyimpangan (dari pokok pembicaraan); pelanturan. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 354.
[9]anekdot /anékdot/ n cerita singkat yang menarik karena lucu dan mengesankan, biasanya mengenai orang-orang penting atau terkenal dan berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 63.
[10]Cinung Azizy, “Proses Kreatif Penulisan Cerpen”, dalam Abdul Wachid B.S., dkk., Creative Writing: Menulis Kreatif Puisi, Prosa Fiksi, dan Prosa Non-Fiksi, hal. 39.
[11]Lihat, Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra Dengan Ancaman Literasi Kritis, hal. 126-127.
[12]Melani Budianta, dkk., Membaca Sastra, (Magelang: Indonesia Tera, 2003), hal.19.
[16]Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), hal. 23.
[17]Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengakajian Fiksi, hal. 74.
[18]Erwan Juhara, dkk., Cendikia Berbahasa, Bahasa dan Sastra Indonesia, (Jakarta: PT. Setia Purna, 2007), hal. 165.
[19]Melani Budianta, dkk., Membaca Sastra, hal. 86.
[20]Dami.N.Toda, Apakah Sastra?, (Magelang: Indonesia Tera, 2005), hal. 122.
[21]Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hal. 248.

Comments

Populer Post

Isi Kepala Sapto*

Hidup Hanya Singgah untuk Memandang dan Mendengarkan

Menengok Adat Suku Sasak di Kampung Sade

Pembelaan yang Datang Terlambat