Isi Kepala Sapto*


Oleh: Wahyu Noerhadi

Ia sudah begitu muak dengan semuanya. Segala hal yang ada di hadapannya sudah tentu akan dinilai salah olehnya. Bahkan ketika ia telah sampai di sebuah warung makan, kemuakannya belum juga sirna.
“Pakai apa, Mas?”
“Telur, Pak.” Sapto menunjuk dengan dagunya.
“Ceplok, dadar, telur asin, atau telur puyuh?” Si empunya warung kembali bertanya.
Sapto menjawab setelah mengembuskan nafas panjangnya. Ia menyerah dan merasa wajib menjawab pertanyaan itu demi menuntaskan suara nyaring cacing-cacing dalam perutnya. Ia tak mengerti, mengapa lelaki tua itu harus kembali bertanya padanya. Padahal, ia sudah menjawab dengan isyarat yang ditunjukkan dagunya. Tapi, Sapto tak sampai hati melontarkan kekesalannya itu. Karena, ia tahu, hal itu hanya akan membuang-buang energinya, yang memang hampir habis digerogoti kekesalannya.
Sapto menyantap sarapan—sekaligus makan siangnya—tanpa selera, lantaran rasa muak itu telah lebih dulu mengendap dalam dirinya. Ia makan dengan rasa muaknya pada sikap orang-orang yang tadi ia temui di kampusnya. Dan, ia sedikit terbebas dari pikirannya itu ketika mendapati bahwa piring di hadapannya telah benar-benar bersih hingga tak tersisa satu butir pun nasi. Ia meneguk segelas teh manis hangat hingga tersisa seperempat, lantas melolos sebatang Gudang Garam dari bungkusnya. Rokok yang sudah terpasang di kedua bibirnya itu segera dinyalakannya. Bunga api yang terbang dan jatuh di celananya sedikit mengagetkannya. Asu, gumamnya. Sapto mengisap rokoknya dalam-dalam, dan mengembuskan asapnya dengan amat pelan. Sesekali ia membentuk asap yang diembuskannya itu menjadi bulatan-bulatan kecil.
Tentang bulatan-bulatan kecil itu, Sapto pernah berkomentar—dalam hati tentunya—ke anak-anak SMA yang sedang merokok di sampingnya, dan asyik membentuk bulatan-bulatan kecil di setiap embusan asap rokok mereka. Ah, dasar bocah. Merokok saja pakai gaya-gayaan segala, komentarnya. Dan sekarang, entah disadarinya atau tidak, Sapto mengikuti gaya merokok mereka.
Sapto berharap, setiap isapan rokoknya itu dapat membuat kepalanya tenang. Dan benar, ia sedikit merasa tenang setidaknya sampai isapan kelima. Di isapan keenam, ia kembali teringat pada setiap kata yang diucapkan oleh orang-orang yang membuatnya muak. Kemudian, asap yang keluar dari mulutnya seolah membentuk potret-potret peristiwa antara ia dan orang-orang itu.
***

“Ada apa, Mas?” Tanya wanita paruh baya dari balik meja kerjanya.
“Mmm, ini Bu. Saya mau...”
Belum selesai Sapto bicara, wanita itu menyelanya,
“Lebih baik kamu pulang dulu. Kami tidak melayani mahasiswa yang tidak bersepatu.”
“Tapi, Bu...”
Sapto tak meneruskan ucapannya, karena wanita berkacamata tebal itu sudah kembali khusyuk pada layar komputernya. Sapto masih mematung dan pandangannya terpaku ke arah sandal Swallow yang dikenakannya. Sapto ingin mengeluarkan kata-kata, tapi ia merasa lidahnya seketika bertulang. Akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan ruang Jurusan. Ia memang harus meninggalkan ruangan itu untuk mendinginkan kepalanya, dan perlu kembali lagi dengan kata-kata yang tak dapat disela—apalagi dibantah—oleh wanita itu, atau oleh siapa pun yang membuatnya kesal. Ia menginginkan kata-kata yang sering dilontarkan para ketua mafia kepada para centengnya. Sapto pun berangan-angan menjadi Vito Corleone dalam film Godfather. Lengkap dengan mawar merah di tuksedonya.
Setelah siap dengan kata-kata dalam kepalanya, Vito Corleone kembali memasuki ruang Jurusan. Namun, ia tak mendapati sosok wanita berkacamata itu. Barangkali ke kamar mandi, pikirnya.
“Bu Surtinya ada, Pak?”
“Sedang keluar. Ada keperluan apa?”
Ya, sebenarnya Sapto tak perlu menanyakan keberadaan Bu Surti. Harusnya ia bersyukur dengan tidak adanya wanita itu, yang mungkin akan mengusirnya kembali. Ya, sesungguhnya Sapto cukup bicara saja dengan pria berambut putih itu, yang berkata tanpa menoleh ke arahnya. Sapto merasa amat perlu bertemu dengan Bu Surti. Sebab, ia tak mau jika kata-kata—atau lebih tepatnya alasan mengapa ia tak mengenakan sepatu—yang telah dipersiapkannya itu nantinya mubazir.
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Sapto pun terpaksa menyampaikan maksudnya pada Si Uban.
“Ini, Pak. Saya mau daftar...”
“Rambutnya bagus ya, Mas. Panjang dan bergelombang,” Si Uban menyela, “Tapi, dengan rambut sebagus itu kamu tidak akan mendaftarkan diri buat magang, ‘kan?
Sapto tahu, itu bukan pujian, melainkan pencelaan. Sapto juga sebenarnya bisa memuji balik Si Uban dengan: Rambutmu juga bagus, Pak. Putih berkilau. Tapi, Sapto tak melakukannya. Saat itu, Sapto hanya ingin menyelesaikan urusannya.
“Terimakasih atas pujiannya, Pak. Iya Pak, saya mau daftar magang di Jogja. Bapak bisa membantu saya?”
“Tapi, kamu harus memangkas rambutmu dulu. Mosok, mau magang dengan rambut sesemrawut itu.”
“Sehabis dari sini saya akan pergi ke tukang cukur, Pak. Tapi, untuk saat ini tolong bantu saya, Pak. Mudahkanlah urusan saya. Urusan magang ini, Pak.” Pinta Sapto dengan paras memelas.
“Ya, saya akan membantumu, asal setelah ini kamu benar-benar merapikan rambutmu.”
Sapto berpikir bahwa Si Uban mulai melunak. Tapi, ia keliru.
“Tapi, apakah kamu sudah memenuhi semua syarat pendaftaran PPL? Bagaimana dengan nilai-nilaimu, apa sudah lulus semua? Rasa-rasanya, saya kok jarang sekali melihatmu di kampus. Kamu enggak pernah kuliah, ya?”
“Pak,” suara Sapto meninggi, “jika saya ke sini hendak mendaftarkan diri untuk keperluan magang, berarti saya pun telah siap dengan segala persyaratan magang. Bapak harusnya tahu itu!”
“Oh, begitu ya,” Si Uban menyandarkan punggungnya ke kursi, dan melipatkan kedua tangannya di perut buncitnya, “Coba perlihatkan berkas-berkasmu!”
Melihat polah Si Uban, Sapto pun hilang kesabaran.
“Nih, makan berkas-berkasku! Aku tak membutuhkannya. Aku tak mau lagi memedulikannya.”
Sapto tak terkendali. Kertas-kertas dalam map kuning di genggamannya itu sudah dihamburkan ke udara. Si Uban terhenyak, dan bangkit dari kursinya.
Hey! Apa yang kamu lakukan?” Si Uban memelototi Sapto, “Biar bagaimana pun, kamu harus mematuhi birokrasi.”
“Ah, persetan dengan birokrasi!” Wajah Sapto merah padam.
“Jaga omonganmu dan ambil kembali berkas-berkasmu itu!”
Kertas-kertas yang sudah berserakan di lantai itu dipungutnya satu-satu, lantas ia merobek-robeknya di hadapan Si Uban. Kemudian, dengan dada yang bergejolak ia keluar dari ruang Jurusan.
Di tangga, ia bertemu dengan Bu Surti.
“Kenapa kau masih mengenakan sandal?”
Sapto dan Bu Surti terdiam dengan jarak 6 anak tangga. Bu Surti menunggu jawaban Sapto. Tapi, Sapto takkan menjawab pertanyaan itu. Ia sudah lupa alasan yang tadinya akan dilontarkan pada wanita itu. Ia sudah tak bisa berpikir lagi. Saat itu, ia hanya tahu cara meluapkan kegeramannya. Sapto hanya melepaskan sandalnya yang sebelah kiri, lantas melemparkannya tepat ke muka wanita berkacamata itu.
Wanita itu masih memegangi mukanya. Rupanya, sandal yang dilemparkan Sapto itu cukup membuat mukanya pedas. Sapto tak berkata apa-apa. Ia menuruni anak tangga, memungut sandalnya, dan berlalu meninggalkan kampusnya. Beberapa mahasiswa yang melihat kejadian itu amat terheran. Mereka bertanya-tanya, tapi segan untuk saling bertanya. Mereka hanya memandangi langkah Sapto yang tergesa.
Sapto mengendarai Vespa kalengnya dengan kepala yang kacau, dada yang kacau, dan esok yang kacau. Ia tak tahu, bagaimana harus membereskan kuliahnya. Tentu, ia tak mungkin meminta maaf pada kedua orang itu. Ia berpikir, bahwa perbuatannya itu adalah pelajaran untuk Si Uban dan Bu Surti. Ia malah berpikir, seharusnya mereka berdualah yang meminta maaf dan berterimakasih kepadanya. Sapto berharap, mereka seharusnya mampu melayani mahasiswa. Karena, pikir Sapto, mereka pun digaji oleh mahasiswa. Mereka dapat duit dari mahasiswa. Mereka bekerja untuk melayani mahasiswa. Maka itu, mereka tidak seharusnya bertingkah semena-mena pada mahasiswa. Dengan kejadian itu, ia berharap nantinya Si Uban, Bu Surti, atau para birokrat di kampusnya tidak mengulangi kesalahan yang serupa pada mahasiswanya, pada adik-adik angkatannya. Ya, Sapto masih angkuh dengan pikirannya. Ia merasa puas telah mendapatkan analisa semacam itu.
Di jalan, ia bertemu pemuda yang mengendarai sepeda motornya dengan ugal-ugalan. Laju kendaraan pemuda itu memakan jalur Sapto. Hal itu cukup mengagetkan Sapto, hingga membuat Vespanya oleng. Namun tak sampai terjatuh. Sapto berpikir, apakah ia harus memutar-balik arah. Ya, Septo memutar-balik motornya dan berusaha mengejar motor pemuda itu. Setelah Vespanya itu berada sejajar dengan motor pemuda itu, Sapto menendang tubuh pemuda itu dengan amat keras, dengan kaki kiri. Motor itu seketika bergoyang-goyang, roboh dan berselancar sebentar di aspal, kemudian mendarat di got.
Asuuuu, Kowe!” Serapah pemuda itu pada Sapto.
Sapto menoleh ke belakang dan melemparkan senyum paling kecut padanya. Ya, pemuda itu hanya mampu menyumpah-serapahi Sapto. Ia tak mungkin mengejar Sapto dengan kondisi motor dan tubuh seperti itu.
***

Sapto tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya membayangkan semua itu.
“Sudah, Pak. Jadi berapa?”
Ia keluar dari warung makan dengan perasaan yang aneh dan tak keruan. Ia muak sekaligus malu.

Purwokerto, 2014


*Dimuat di Koran Pantura, edisi Selasa 17 Mei 2016.

Comments

Populer Post

KEHIDUPAN DAN “PELAJARAN MENGARANG” DARI SANG PENGARANG

Hidup Hanya Singgah untuk Memandang dan Mendengarkan

Menengok Adat Suku Sasak di Kampung Sade

Pembelaan yang Datang Terlambat