Posts

Showing posts from 2016

Penistaan terhadap Jomblo?

Image
Oleh: Wahyu Noerhadi Sumber foto: Kompasiana " WHO Godok Pedoman Baru, Jomblo Bisa Masuk Kategori Penyandang Disabilitas " "Berita macam apa itu!"  pikir saya. Dan, karena berita di atas itu pula kawan saya membuat spekulasi lewat status  facebook -nya bahwa, WHO telah melakukan penistaan terhadap kaum jomblo sedunia. Begitu tulis kawan saya. Bahkan, kawan saya mengaitkan rencana WHO itu akan berdampak pada kebijakan APBN dan APBD, sebab kata kawan saya, nantinya perlu fasilitas-fasilitas khusus jombloiyah. Misal, jika sebelumnya di trotoar sudah ada paving berwarna kuning untuk para penyandang tunanetra, maka pemerintah pun harus membuat desain jalan yang juga ramah untuk para (calon) tuna asmara—paving warna pink (atau abu-abu galau?), mungkin. Dalam hal ini, Kementerian PUPR dan Dinas Tata Kota harus membangun infrastuktur bagi jomblo-jomblo. Ya, di Bandung memang sudah ada Taman Jomblo. Lha, bagaimana dengan daerah lainnya? Selain itu, kawan

Dipecundangi "Pecundang"

Image
Oleh: Wahyu Noerhadi Saya mendapatkannya beberapa bulan setelah saya bekerja di Jakarta, tepatnya sehabis bermalam di rumah salah seorang manajer. Malam itu, di ruang tamu, terpampang rak dengan buku-buku yang cukup tebal. Seingat saya ada buku-buku filsafat, sejarah, hukum, tasawuf, dan novel. Ada Sejarah Tuhan -Nya Amstrong, ada Dunia Shopie -nya Jostein Gaarder, dan lain-lain. Mata saya menemukan nama Maxim Gorky di deretan buku-buku. Judulnya Pecundang . Covernya amat menarik bagi saya. Awalnya, saya menimang-nimang beberapa buku yang menarik minat saya untuk meminjamnya. Namun, demi kenyamanan hati seorang tamu kepada tuan rumah atau mungkin sebaliknya, maka saya hanya menjumut  Pecundang dan  Dunia Shopie --yang memang belum pernah saya selesaikan. Saat melihat deretan buku di rak itu, juga ketika menimang-nimangnya, saya kagum kepada Pak Manajer. Saya jadi menaruh hormat lebih padanya. "Bacaannya 'keren' untuk orang kantoran (orang 'formal') yang sib

Isi Kepala Sapto*

Image
Oleh: Wahyu Noerhadi Ia sudah begitu muak dengan semuanya. Segala hal yang ada di hadapannya sudah tentu akan dinilai salah olehnya. Bahkan ketika ia telah sampai di sebuah warung makan, kemuakannya belum juga sirna. “Pakai apa, Mas?” “Telur, Pak.” Sapto menunjuk dengan dagunya. “Ceplok, dadar, telur asin, atau telur puyuh?” Si empunya warung kembali bertanya. Sapto menjawab setelah mengembuskan nafas panjangnya. Ia menyerah dan merasa wajib menjawab pertanyaan itu demi menuntaskan suara nyaring cacing-cacing dalam perutnya. Ia tak mengerti, mengapa lelaki tua itu harus kembali bertanya padanya. Padahal, ia sudah menjawab dengan isyarat yang ditunjukkan dagunya. Tapi, Sapto tak sampai hati melontarkan kekesalannya itu. Karena, ia tahu, hal itu hanya akan membuang-buang energinya, yang memang hampir habis digerogoti kekesalannya. Sapto menyantap sarapan—sekaligus makan siangnya—tanpa selera, lantaran rasa muak itu telah lebih dulu mengendap dalam dirinya. Ia makan de

Mari 'Membaca' Pancasila!*

Image
oleh Wahyu Noerhadi Kita tentu tak asing lagi dengan istilah gemah ripah loh jinawi . Ya, semuanya ada di Indonesia. Kekayaan alam melimpah ruah di bumi yang kita pijak ini: Indonesia. Tak hanya itu, Indonesia pun penuh dengan keberagaman. Kita tahu, berbagai macam etnis, ras, suku, agama, budaya, ada di Indonesia. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI menyebutkan bahwa ada lebih dari 500 suku bangsa di Nusantara. [1] Sungguh merupakan suatu kekayaan bangsa yang tentu tidak dimiliki oleh negara lain. Sudah sepatutnya kita berterimakasih kepada para Founding Fathers yang telah berjuang mempersatukan keberagaman yang ada di Indonesia, dengan berdasarkan pada Pancasila. Mari barang sejenak kita bernostalgia! Tentu kita masih ingat pada pertanyaan ketua BPUPKI, dr. Radjiman Wedyodiningrat yakni, “Negara Indonesia yang akan kita bentuk ini apa dasarnya?” . Kemudian, pada tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno menjawab pertanyaan itu. Dengan lantang Bung Karno mengemukakan bahwa negar

Pembelaan yang Datang Terlambat

Image
Oleh: Wahyu Noerhadi Sebetulnya, cukup lama saya ingin mengungkapkan hal ini. Sebab, jika terus-terusan dipendam, rasanya sangat tidak nyaman. Ibarat bersin yang gagal. Begini: saat ujian skripsi—di kampus saya disebut dengan istilah munaqosyah—saya betul-betul ingin menanggapi pendapat, kritik, dan saran dari para penguji atas skripsi saya yang berjudul “Komunikasi Sufistik dalam Kajian Realisme Magis (Telaah Realisme Magis Wendy B. Faris terhadap Kumpulan Cerpen Lukisan Kaligrafi Karya A. Mustofa Bisri)”. Dalam beberapa—sesungguhnya hanya satu—hal, saya menyetujui saran para penguji atas skripsi saya itu. Terutama soal metodologi penelitian yang harus dipindahkan ke bab 3, dan tidak lagi di bab 1 (pendahuluan). Pada bagian itu, saya memang keliru, karena menggunakan buku panduan skripsi yang belum direvisi. Ya, meskipun skripsi yang susun itupun tentunya berdasar pada referensi skripsi-skripsi sebelumnya, baik dari kampus sendiri maupun kampus lainnya, semisal UI, UGM, dan UI