Penistaan terhadap Jomblo?

Oleh: Wahyu Noerhadi
Sumber foto: Kompasiana



"Berita macam apa itu!" pikir saya. Dan, karena berita di atas itu pula kawan saya membuat spekulasi lewat status facebook-nya bahwa, WHO telah melakukan penistaan terhadap kaum jomblo sedunia. Begitu tulis kawan saya.
Bahkan, kawan saya mengaitkan rencana WHO itu akan berdampak pada kebijakan APBN dan APBD, sebab kata kawan saya, nantinya perlu fasilitas-fasilitas khusus jombloiyah.
Misal, jika sebelumnya di trotoar sudah ada paving berwarna kuning untuk para penyandang tunanetra, maka pemerintah pun harus membuat desain jalan yang juga ramah untuk para (calon) tuna asmara—paving warna pink (atau abu-abu galau?), mungkin.
Dalam hal ini, Kementerian PUPR dan Dinas Tata Kota harus membangun infrastuktur bagi jomblo-jomblo. Ya, di Bandung memang sudah ada Taman Jomblo. Lha, bagaimana dengan daerah lainnya?
Selain itu, kawan saya pun memprediksikan bahwa PT. KAI nantinya wajib menyediakan gerbong khusus jomblo. Yang lebih gilanya lagi, kawan saya itu mengajak jombloiyah di seluruh muka bumi untuk melakukan aksi ke kantor WHO, dengan tuduhan PENISTAAN TERHADAP JOMBLO…
Baik, kita cukupkan sampai di sini prediksi dan kekhawatiran kawan saya itu. Dan karena ini perkara seriyes, maka izinkan saya selaku jomblowan, untuk menanggapi satu persatu permasalahan di atas.
Pertama, saya tidak percaya dengan berita di atas. Saya anggap itu sebagai HOAX belaka. Namun, setelah melihat sumber beritanya, saya agak sangsi dengan ketidakpercayaan saya sendiri.
Wong berita dari Detik je. Eh, sebentar, wong media sekelas Kompas, MetroTV, Tribun, dan BeritaSatu saja bisa dianggap hoax kok sama mereka, penganut Garis Tegang—jika kita hendak menghindari frasa Garis Keras dan Lurus. Itu bercanda.
Yang asli, saya sempat dengar kabar, bahwa Tempo-lah yang pernah mengangkat berita hoax soal legalitas Marlboro Marijuana di Amerika sana. Tempo menjumput (tema) berita itu, juga dari media hoax di Amerika.


Hal ini diungkapkan oleh Cak Rusdi Mathari, (di siniWartawan Senior Suara Pembaruan dan anggota AJI—bukan Asosiasi Jomblo Indonesia, seperti yang diguyonkan olah kawan saya. “Ini AJI yang ‘J’-nya bukan ‘Jomblo’, tapi ‘Jurnalis’ beneran, Kang,” tukas saya padanya.

Ow, sorry, jika melebar-memanjang dari bahasan. Intinya, saya masih sedikit percaya kalo berita tentang jomblo yang bakal dikategorikan sebagai penyandang disabilitas itu, hanyalah berita buat lucu-lucuan saja. Jomblo kok dibuat lucu-lucuan. Kalian tega…
Oke, kedua. Kita masuk ke kata ‘JOMBLO’. Begini, sebelum kita mengambil simpulan kalo berita soal jomblo di atas merupakan PENISTAAN, ada baiknya kita memahami lebih awal kalau jomblo itu memiliki beberapa kategori:
  1. Jomblo Ngenes, merupakan kepanjangan dari Jones. Kelompok ini menganggap kalau dirinya bernasib sial dan kerap merayakan kesialannya dengan sesama Jones, dengan harapan dapat saling berbagi ketabahan dan air mata.
  2. Jomblo Terhormat, adalah orang-orang berprinsip. Mereka meyakini bahwa jomblo bukan kesialan, melainkan pilihan. Golongan inilah yang suka berdalih, “Kami bukan jomblo. Jika disebut jomblo pun, kami adalah jomblo terhormat. Bukannya kami tidak laku, tapi kami mencoba selektif dalam memilih pasangan. Bukannya kami tak mampu mendapatkan kekasih, tapi kami hanya menunggu siapa yang beruntung, yang berhak mendapatkan sayang dan kasih kami. Kami hanya single. Kami memilih untuk sendiri”. Setelah ngoceh kayak gitu, orang-orang ini akan meminta saputangan padamu untuk mengelap air yang ngucur di sudut-sudut matanya.
  3. Jomblo, tetapi hapal Pancasila. Untuk kategori terakhir ini, jujur saja, saya masih bingung buat menjabarkan detailnya. Toh, saya pun memang bukan pakar jomblo. Jomblo, tetapi hapal Pancasila adalah judul sebuah buku yang ditulis oleh Agus Mulyadi, Blogger Kondang asal Magelang, yang kabarnya sudah tak menjomblo dan tak hafal Pancasila lagi. Nah, untuk memenuhi rasa penasaran kita mengenai Jomblo, tetapi hapal Pancasila, barangkali kita bisa bertanya pada rumput yang bergoyang—eh, kok malah Ebiet-an. Maksudnya, kita bisa bertanya pada Agus ‘Magelangan’ Mulyadi, Tuan Redaktur di Mojok.co ini.
Begitu. Jadi, jomblo itu memang punya beberapa kategori. Jumlah kategori pun sesuai selera. Kalian pun bisa menambahkannya jika memang kurang atau sedang tidak kerjaan. Kemudian, menurut berita di atas, jomblo yang manakah yang dimaksud?
Ketiga, sekaligus saran. Setelah kita meyakini kebenaran berita di atas, lantas melakukan aksi dengan—hesyteg #AksiTenteram413—gugatan kepada WHO yang telah diskriminatif dan menistakan para jomblo sedunia, alangkah bijaknya kalau kita bertanya dahulu kepada para (calon) tuna asmara ini: apakah mereka mau buat melakukan aksi atau demo ke kantor WHO?
Apa mereka mampu berunjuk rasa, sedang begitu banyaklah rasa di batin mereka? Jomblo adalah para perasa, tetapi sukar bagi mereka untuk mengunjukkannya. *tisu mana tisu?
Jomblo adalah mereka-mereka yang hatinya lembut, selembut tepung Segitiga Biru. Maka itu, meski berita di atas benar, tetap saja bagi saya adalah hal yang musykil jika umat jomblo sampai membikin aksi-aksian atau demo-demoan. Paling banter aksi atau demo mengurai airmata…
Buktinya, kita pun mafhum, bahwa memang tidak ada tuh Forum Jomblo Nasional, atau Asosiasi Jomblo Indonesia atau Aliansi Jomblo Independen—meski jomblo sudah pasti independen.
Terakhir, jika pun disepakati bahwa jombloiyah adalah termasuk golongan disabilitas, tak perlu-perlulah pemerintah mengkhususkan kebutuhan untuk jomblo, seperti pembuatan trotoar atau paving khusus jomblo, gerbong KRL jomblo, atau Taman Jomblo seperti di Bandung.
Tak perlulah pemerintah menggelontorkan dana APBN dan APBD buat menyenangkan-menabahkan hati para jomblo. Perlu diketahui, para jomblo sudah bisa tabah sejak dalam pikiran.
Begitulah tanggapan saya atas berita dan status atau kekhawatiran kawan saya itu. Sekian, dan terimakasih…
Takbir, eh, Tabik!

(Sebelumnya, ocehan fiktif ini ditayangkan di selasar.com pada Selasa 6 Desember 2016)

Comments

Populer Post

KEHIDUPAN DAN “PELAJARAN MENGARANG” DARI SANG PENGARANG

Isi Kepala Sapto*

Hidup Hanya Singgah untuk Memandang dan Mendengarkan

Menengok Adat Suku Sasak di Kampung Sade

Pembelaan yang Datang Terlambat