Dipecundangi "Pecundang"


Oleh: Wahyu Noerhadi

Saya mendapatkannya beberapa bulan setelah saya bekerja di Jakarta, tepatnya sehabis bermalam di rumah salah seorang manajer. Malam itu, di ruang tamu, terpampang rak dengan buku-buku yang cukup tebal. Seingat saya ada buku-buku filsafat, sejarah, hukum, tasawuf, dan novel. Ada Sejarah Tuhan-Nya Amstrong, ada Dunia Shopie-nya Jostein Gaarder, dan lain-lain. Mata saya menemukan nama Maxim Gorky di deretan buku-buku. Judulnya Pecundang. Covernya amat menarik bagi saya.

Awalnya, saya menimang-nimang beberapa buku yang menarik minat saya untuk meminjamnya. Namun, demi kenyamanan hati seorang tamu kepada tuan rumah atau mungkin sebaliknya, maka saya hanya menjumut Pecundang dan Dunia Shopie--yang memang belum pernah saya selesaikan.

Saat melihat deretan buku di rak itu, juga ketika menimang-nimangnya, saya kagum kepada Pak Manajer. Saya jadi menaruh hormat lebih padanya. "Bacaannya 'keren' untuk orang kantoran (orang 'formal') yang sibuk seperti beliau," pikir saya waktu itu. Nah, ketika saya sampaikan pikiran itu padanya, dia pun berujar, "Ya, dulu memang sering baca-baca. Tapi sekarang, ya, buku-buku itu cuman buat pajangan," ujarnya disertai tawa kecil.

Bapak Ahyad Alfida'i, namanya. Dia lulusan Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Di kantor, dia memang orang yang asyik dalam bergaul dan berbicara. Gampangannya, banyolannya itu cerdas. Tutur kalimatnya cukup sistematis dengan lontaran diksi-diksi yang jarang orang lain mengungkapkannya, seperti 'terkaing-kaing' saat dia menceritakan bagaimana sakitnya jempol kaki tertimpa bingkai kaca yang ditempel di tembok kantor.

Begitulah sedikit kisah tentangnya, dan juga bagaimana kesan saya saat bermalam di rumahnya--ketika esok harinya memang akan ada acara di dekat tempat tinggalnya di Jakarta Selatan.
Kau tahu, hingga selesai acara dan saya kembali pulang ke Jakarta Pusat bersama seorang kawan, saya tak membawa 'oleh-oleh' apapun. Saya sungguh lupa membawa buku-buku yang hendak saya pinjam itu. Sialan!

Esoknya--hari Senin kalau saya tidak keliru--saya bilang pada Pak Manajer. Lantas dia bilang, Selasa akan membawakannya. Ya, akhirnya, di hari Selasa saya mendapat (pinjaman) Pecundang-nya Gorky.

Sampai ini ditulis, jujur saja, saya belum menyelesaikan novel itu. Lebih dari dua bulan kayaknya. Ya, terlalu banyak alasan dari diri saya. Namun, sampai di bab 2 novel itu, saya beberapa kali mendapat impresi dari karya novelis Rusia ini. Ya, saya seperti dipecundangi oleh Pecundang. Hal itu dapat saya rasakan ketika membaca kalimat di bawah ini:

"Kehidupannya monoton dan otaknya tanpa terasa tersumbat oleh debu-debu pekerjaan."
Itulah kalimat yang bikin saya merasa dipecundangi. Itu penggambaran hidup (sementara) seorang anak yatim umur 13 tahun yang bekerja dan sangat patuh pada majikannya.

Akankah bisa ditebak bahwa novel ini benar-benar menceritakan kisah seorang pecundang, seperti judulnya? Jawabannya, saya tak tahu. Sebab, ya, saya pun belum menyelesaikannya.

Bersambung ...

Comments

Populer Post

KEHIDUPAN DAN “PELAJARAN MENGARANG” DARI SANG PENGARANG

Isi Kepala Sapto*

Hidup Hanya Singgah untuk Memandang dan Mendengarkan

Menengok Adat Suku Sasak di Kampung Sade

Pembelaan yang Datang Terlambat