Menengok Adat Suku Sasak di Kampung Sade

-Mulai dari Tari Peresean, Kawin Culik, sampai ke Tahi Kerbau
Rombongan Riweuh

Usai merampungkan beberapa acara, kami menyempatkan diri berkunjung ke Kampung Sade; sebuah kampung adat yang terletak di Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, NTB.

Sesampainya di Kampung Sade, kami dan para pengunjung lain disuguhi iringan musik serta pertarungan kedua lelaki yang mengenakan pakaian adat. Bukan, bukan tarung betulan. Itu adalah tarian. Kalau kuping saya tidak keliru, pemandu bilang nama tari tersebut adalah tari Peresean.

Tari Peresean

“Tari Peresean ini ada sejak zaman kerajaan di Lombok. Tari ini diperagakan dalam rangka menyambut para prajurit saat pulang dari medan perang,” kata Talib si pemandu.

Tari Peresean

Tari atau pertarungan dengan iringan musik itu, disenjatai tongkat sebagai pemukul serta tangan kiri dilengkapi dengan tameng. Peraturannya, masing-masing petarung tidak boleh memukul bagian perut ke bawah. Hanya perut sampai kepala yang boleh diincar oleh petarung. Ukuran tongkat sekitar 80 cm dengan tameng berbentuk segi empat. Keduanya berbahan rotan. Kalau salah seorang petarung tongkatnya jatuh 3 kali, berarti dia kalah. Atau, kalau ia lari dari pertarungan berarti ia K.O. Begitu cerita tentang tari Peresean, yang saya dengar dari Talib.

Selanjutnya Talib mengajak kami memasuki gang-gang tempat warga suku Sasak tinggal. Sambil berjalan, pria yang saya taksir usianya baru berkepala tiga itu menceritakan perihal Kampung Sade, warga, pekerjaannya, serta bangunan rumahnya.

“Kampung ini bisa dibilang kampung adat tertua di Lombok. Sudah 15 generasi lahir dari kampung ini. Dikenal luas mulai tahun 1175-1176, saat dikunjungi oleh wisatawan asing. Kampung ini bukan sebagai kampung percontohan. Kampung ini tidak disengajakan sebagai destinasi wisata. Dengan sendirinya seperti ini. Di sini ada 150 rumah dan penduduknya kurang lebih 700 orang,” jelas Talib.

Kawin Culik

Dari 700-an orang itu, kata Talib, bisa dikatakan adalah satu famili. Karena orang-orang Sasak itu dominannya kawin dengan sepupu atau kerabat sendiri. Boleh dan tidak ada pantangan bagi orang Sasak yang ingin kawin dengan orang jauh dari luar kampung. Tapi tetap saja, kebanyakan orang Sasak memilih kawin dengan kerabatnya sendiri.

Menyapa seorang nenek warga Kampung Sade yang kata pemandu usianya sekitar 90 tahun

“Hal itu demi mempertahankan tradisi kekerabatan,” kata Talib.

Soal perkawinan suku Sasak, ya, tidak ada istilah melamar. Adatnya yaitu: Kawin Culik. Atas dasar suka sama suka dan tanpa sepengetahuan para orangtua, si pria akan menculik wanitanya jika ia memang berniat untuk menikah.

Penculikan itu tidak lebih dari 3 hari. Jika lebih, maka para orangtua akan melapor ke kepala suku, dusun, atau polisi. Karena, dikhawatirkan itu bukan adat kawin culik, tapi kasus penculikan betulan.

Kenapa ada Kawin Culik? Talib menjelaskan, “Karena takut keduluan oleh orang lain. Juga menunjukkan keseriusan seorang lelaki, dan seperti orang bilang cinta itu butuh perjuangan.” Tawa berderai dari rombongan kami.

“Kalo melamar, itu seperti beli barang. Maka cara kami yaitu dengan menculik perempuan dari orang tuanya. Baru bisa nikah. Kami di sini seratus persen beragama Islam. Banyak orang bilang Lombok sebagai Pulau Seribu Masjid karena memang banyak masjid dan juga mushola. Tapi banyak juga orang bilang selain Pulau Seribu Masjid juga sebagai Pulau Seribu Penculik. Penculik wanita.” Kami tertawa lagi.

Teman kami, Riri, sedang membeli buah tangan berupa kain tenun, asli ditenun oleh si nenek dalam gambar

Talib melanjutkan, “Pekerjaan kami di sini bertani. Namun di sini jarang hujan. Tidak bisa kami di sini panen 2 kali dalam setahun. Hanya satu kali setahun. Karena kami tidak bisa panen 2 kali dalam setahun, maka kami simpan hasil panen kami itu di lumbung di atas rumah. Kalau dalam bahasa Sasak yaitu
alang. Second job atau kerja sampingan kami di sini yaitu membuat kain tenun, dan pernak-pernik untuk oleh-oleh pengunjung.”

Di sekitar, kami melihat bangunan rumah suku Sasak itu berbahan dasar bambu. Bambu utuh atau batangan untuk tiang penyangga rumah dan dindingnya dari anyaman bambu. Untuk atapnya terbuat dari jerami atau akar alang-alang.

“Rumah-rumah di sini tidak memakai langit-langit. Tapi jika hujan turun, air tidak masuk ke dalam rumah. Orang-orang di sini nggak bilang, ‘bocor, bocor, bocor.’ No drop. Waterproof. Dari dalam, rumah-rumah di sini sejuk. Tidak panas.”

Udeng-udeng dan syal original buatan warga Kampung Sade

Tipe rumah orang-orang Sasak bentuknya kecil-kecil. Bahasa arsitekturnya minimalis. Nah, untuk yang baru menikah, disediakan rumah kecil berukuran kira-kira 2x2 meter. Ya, mungkin hanya cukup untuk tidur.

“Rumah itu untuk honeymoon. Bagi pasangan yang baru berkeluarga itu disediakan semacam romantic room,” ujar Talib sambil tersenyum.

Tahi Kerbau

Nah, ada yang unik dari rumah-rumah di Kampung Sade. Orang-orang Sasak di situ melumuri lantai tanah rumah mereka dengan tahi kerbau. Saya dan kawan-kawan kaget. Dan hidung kami seketika mengendus-endus, memastikan aroma kotoran tersebut. Tidak, tidak ada bau tahi kerbau. Namun, kami baru sadar, ternyata dari tadi di sekitar kami cukup banyak lalat-lalat berterbangan.

“Tahi kerbau itu dibakar dan dihaluskan. Gunanya untuk menjaga lantai agar tetap kuat, tidak retak dan tidak lembab. Juga sebagai pengusir nyamuk paling ampuh,” Talib mengerti gerak hidung kami.

Demikianlah, cerita yang saya dengar dari Talib, pemandu kami selama kami menyusuri Kampung Sade. Sebetulnya, banyak lagi hal menarik yang bisa digali dari orang-orang suku Sasak di Kampung Sade. Misalnya, berapa kali waktu mereka menunaikan salat? Karena, ada saya baca di internet, mereka salat 3 waktu dalam sehari (pagi, siang, petang). Tapi ada juga orang Lombok yang bilang, orang Sasak di Kampung Sade menjalankan salat seperti pada umumnya orang Islam, yakni 5 waktu. Ya, pertanyaan itu mungkin bisa kami simpan sampai kami tiba lagi di sana, di lain kesempatan. Tabik!

Gapura Kampung Sade, terbuat dari bambu, jerami, dan alang-alang


26 November 2017

Comments

Populer Post

KEHIDUPAN DAN “PELAJARAN MENGARANG” DARI SANG PENGARANG

Isi Kepala Sapto*

Hidup Hanya Singgah untuk Memandang dan Mendengarkan

Pembelaan yang Datang Terlambat