Mari 'Membaca' Pancasila!*
oleh
Wahyu Noerhadi
Kita tentu tak asing lagi dengan istilah gemah ripah loh jinawi.
Ya, semuanya ada di Indonesia. Kekayaan alam melimpah ruah di bumi yang
kita pijak ini: Indonesia. Tak hanya itu, Indonesia pun penuh dengan
keberagaman. Kita tahu, berbagai macam etnis, ras, suku, agama, budaya, ada di
Indonesia. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI menyebutkan bahwa ada lebih
dari 500 suku bangsa di Nusantara.[1]
Sungguh merupakan suatu kekayaan bangsa yang tentu tidak dimiliki oleh negara
lain.
Sudah sepatutnya kita berterimakasih kepada para Founding Fathers
yang telah berjuang mempersatukan keberagaman yang ada di Indonesia, dengan
berdasarkan pada Pancasila. Mari barang sejenak kita bernostalgia! Tentu kita
masih ingat pada pertanyaan ketua BPUPKI, dr. Radjiman Wedyodiningrat yakni, “Negara
Indonesia yang akan kita bentuk ini apa dasarnya?”. Kemudian, pada tanggal
1 Juni 1945 Ir. Soekarno menjawab pertanyaan itu. Dengan lantang Bung Karno mengemukakan
bahwa negara Indonesia berdiri atas dasar Pancasila. Itulah pertama kalinya
istilah Pancasila dikemukakan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Atau, hari itu kita mengenalnya dengan hari Lahirnya Pancasila.
Kita tentu mengakui sekaligus mengenal Pancasila dengan berbagai sebutan:
Pancasila sebagai dasar negara, sebagai ideologi nasional, sebagai pandangan
hidup bangsa, sebagai falsafah bangsa, sebagai jati diri bangsa, dan sebagai
pemersatu atau perekat bangsa. Pancasila memang memiliki banyak pengertian dan
kedudukan yang masing-masing perlu kita pahami sesuai konteksnya. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Pancasila adalah dasar negara serta falsafah bangsa
dan negara Republik Indonesia.[2]
Sedang menurut Notonagoro, Pancasila merupakan dasar falsafah negara Indonesia
atau asas kerohanian negara Indonesia, dan pokok kaidah negara yang
fundamental.[3]
Kita tahu, suatu negara memiliki dasarnya masing-masing. Misal, Cina yang
besar dengan ideologi sosialisme-komunismenya dan negeri Paman Sam yang maju
dengan paham liberalisme-individualismenya.
Pancasila acapkali digolongkan sebagai ‘ideologi tengah’ di antara kedua
ideologi yang paling berpengaruh di dunia itu. Ya, Pancasila tidak berpaham
komunis juga tidak berpaham Liberalis. Saya pikir, Pancasila berusaha menerima
sisi baik sekaligus menolak sisi buruk dari kedua ideologi tersebut. Sebenarnya
di dalam Pancasila pun mengandung nilai-nilai universal yang berlaku bagi
seluruh dunia: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, Keadilan. Kemudian,
biarkanlah Pancasila menjadi ciri khas tersendiri bagi bangsa Indonesia.
Pancasila, selama hampir tujuh dasawarsa masih tetap utuh menjadi dasar
negara Indonesia. Tentunya, hal itu berkat kegigihan para pendiri bangsa
Indonesia. Kita juga tahu, merumuskan dasar negara tidak semudah membalikkan kedua
telapak tangan. Perumusan Pancasila memiliki perjalanan yang panjang. Maka, tidak
bisa jika kita begitu saja melupakan jerih payah para Bapak Bangsa Indonesia
dalam menghadirkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa.
Kita masih hafal betul ketika ideologi komunis dan ideologi Islam hadir
untuk menggantikan Pancasila. Namun apa yang terjadi? Ya, Pancasila tetap kokoh
sebagai fondasi rumah besar Indonesia kita ini. Saya juga masih ingat ketika
salah satu sila dari Pancasila, yakni sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa,
coba diubah menjadi Ketuhanan yang Berkebudayaan. Memang benar, mulanya
Soekarno pun mengajukan usulan lima asas sebagai dasar negara Indonesia, yang
di antaranya terdapat sila Ketuhanan yang Berkebudayaan. Namun, Pancasila bukan
berarti pula sama dengan Soekarnoisme. Seperti halnya ideologi komunis yang
akrab dengan Marxisme-Leninisme.
Pada sidang pertama BPUPKI, beberapa tokoh bangsa Indonesia mengemukakan
pendapatnya terkait dasar negara yang akan dibentuk. Tokoh-tokoh itu antara
lain: Muhammad Yamin, Supomo, dan Soekarno. Nah, usulan dari beberapa tokoh
tersebut tentunya tidak langsung diterima oleh BPUPKI. Setiap usulan ditampung
dan dimusyawarahkan bersama. Hingga akhirnya Panitia Kecil atau Panitia
Sembilan memutuskan: Pancasila yang sah dan benar secara konstitusional adalah
rumusan Pancasila sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Yaitu
Pancasila yang kita kenal sampai hari ini. Sila pertama tidak tertulis sebagai Ketuhanan
yang Berkebudayaan, melainkan Ketuhanan yang Maha Esa.
Terbukti, bukan? Ideologi dan hal apapun tetap saja tidak dapat
menggantikan Pancasila. Pancasila menurut Notonegoro, sebagai suatu kesatuan
sistem filsafat tidak hanya kesatuan yang menyangkut sila-silanya saja
melainkan juga meliputi hakikat dasar dari sila-sila Pancasila atau secara
filosofis meliputi dasar ontologis sila-sila Pancasila.[4]
Sila-sila dalam Pancasila bukanlah merupakan asas/dasar yang berdiri
sendiri-sendiri, melainkan memiliki satu kesatuan dasar ontologis. Dan, lima
sila itu tidak bisa begitu saja dipecah-belah, karena semuanya memang saling
berkaitan. Maka dari itu, Pancasila tetap saja akan seperti sediakalanya atau
tetap utuh sebagaimana mestinya.
Saya pikir, titik persoalannya bukan pada Pancasilanya, tetapi
manusianya. Yang mesti dikritisi bukanlah Pancasilanya, melainkan manusianya. Sebenarnya
tak ada suatu kekurangan atau kelemahan apapun dalam Pancasila. Pancasila boleh
dikatakan telah sempurna sebagai produk ciptaan manusia. Lain lagi dengan agama.
Kita tahu, agama merupakan suatu karunia yang agung yang diturunkan oleh Tuhan
pada umat manusia. Namun, terlepas dari itu saya kira agama dan Pancasila sudah
sama baiknya. Keduanya memiliki nilai-nilai luhur bagi kehidupan manusia.
Sekali lagi, manusianya yang wajib dibenahi. Bukan agama ataupun Pancasilanya.
Tak jarang pula kita jumpai beberapa kasus atau peristiwa yang
menunjukkan, bahwa manusia Indonesia ternyata masih belum mampu memahami
Pancasila. Semisal kasus para (calon) pejabat negara yang tidak hafal
Pancasila, di antaranya: (1) Bupati Magetan Sumantri, (2) Gubernur Riau Wan
Abubakar, (3) Para calon wakil Bupati di Pilkada Soppeng, Sulawesi Selatan,
Juni 2010. Ironis sekali bukan? Bahkan, kabarnya dalam seleksi hakim konstitusi
di DPR, salah satu calon, Djafar Albram ternyata tidak hafal Pancasila.
Padahal, sebagai calon pengawal konstitusi—yang di dalamnya termaktub
Pancasila—sudah semestinya ia hafal teks Pancasila.[5]
Anehnya, peristiwa itu ternyata malah menimpa orang-orang yang sebenarnya
tidak tepat. Kita tentu merasa heran sekaligus geregetan atas polah mereka.
Saya percaya, mereka adalah orang-orang yang berpendidikan. Namun, mengapa
mereka tak mampu menghafal Pancasila?
Tentu kita masih ingat pada masa-masa ketika duduk di bangku Sekolah
Dasar. Setiap upacara bendera, murid-murid dengan semangatnya menyuarakan
Pancasila. Juga di Sekolah tingkat Menengah Pertama dan Menengah Atas. Dan,
saya kira mereka (para pejabat negara) pun sama halnya dengan kita, telah
melewati masa-masa menjadi siswa yang diwajibkan untuk mengikuti upacara
bendera setiap Seninnya. Tapi mengapa, lima sila dalam Pancasila bisa hilang
begitu saja dalam ingatannya? Apa mungkin karena semua kesibukannya menjadikan butir-butir
Pancasila sirna dari batok kepalanya? Atau mungkin, bagi mereka merupakan suatu
hal yang tidak elok untuk memperbincangkan teks Pancasila dalam rutinitas kehidupan
mereka, karena Pancasila diartikan hanya sebagai formalitas belaka pada
upacara-upacara kenegaraan.
Mungkin sebaiknya sejenak kita menundukkan kepala, merenung dan berduka
atas nasib Pancasila yang mulai luruh dan hilang dari batok kepala
manusia-manusia Indonesia. Kemudian, kita juga perlu memohon maaf kepada para Founding
Fathers karena telah menyia-nyiakan hasil kerja keras mereka dalam
merumuskan Pancasila.
Saya sepakat bahwa Pancasila memang sudah seharusnya tidak hanya untuk
dihafalkan saja, namun juga diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun jika
melihat fakta di atas, maka timbul pertanyaan dalam benak kita: “Bagaimana
mungkin Pancasila bisa diamalkan, jika menghafalnya saja tidak bisa?”.
Untuk mengatasi persoalan runyam semacam itu, saya kira pendidikan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) perlu digalakkan kembali dari tingkat
bawah sampai tingkat paling atas, khususnya kepada para pemegang kekuasaan itu.
Kita tahu, pengamalan atas Pancasila perlu pemaknaan yang dalam terhadap
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu sendiri. Kita tentu tidak ingin
melihat semaraknya orang-orang yang lupa dan tidak mempedulikan Pancasila.
Tentu akan semakin banyak dampak yang akan muncul karenanya. Beberapa dampak
itu bisa dirasakan dalam kehidupan kita saat ini. Satu contoh dari dampak
tersebut adalah meruaknya berbagai peristiwa kerusuhan di Tanah Air ini. Kita
bisa mengingat kembali peristiwa kerusuhan sosial yang terjadi di Lampung pada
April 1989 dan Oktober 2012. Penyebab kedua peristiwa di Lampung itu sebenarnya
masih sama, yakni dikotomi-dikotomi yang selalu diapung-apungkan, seolah-olah
orang Lampung dengan warga pendatang bak air dan minyak yang sulit untuk
disatukan (Riau Pos, 28/07/13).[6]
Kemudian, kita pun masih teringat akan kerusuhan Timor Leste pasca jajak
pendapat Agustus 1999, yang pada akhirnya Timor Leste resmi berpisah dengan
NKRI. Kasus serupa terjadi pula di Maluku, Kalimantan Barat, dan Nanggroe Aceh
Darussalam. Belum lagi Peristiwa Semanggi yang menewaskan empat orang mahasiswa
pada November 1998. Dan, belum lama kerusuhan Syiah-Sunni di Sampang, Madura pada
26 Agustus 2012.
Dari beberapa peristiwa tersebut, kita tentu mafhum bahwa Pancasila
benar-benar belum sepenuhnya dihayati dan diamalkan oleh segenap warga negara
Indonesia. Lagi-lagi semua kembali kepada manusianya itu sendiri. Kemudian,
bukankah kita tidak ingin kerusuhan, dan musibah-musibah lainnya terus melanda
Bumi Pertiwi? Bukankah kita akan tetap setia menjaga warisan para Founding
Fathers kita: Pancasila? Nah, maka dari itu mari kita sejenak mengheningkan
cipta. Mari kita bersama-sama ‘membaca’ Pancasila! Mari kita ciptakan toto
tentrem karto raharjo (keadaan yang tentram) bagi bangsa Indonesia.
*Termaktub dalam antologi esai Pancasila,
Budaya Virtual, dan Globalisasi (Purwokerto: OBSESI
Press, 2014).
ENDNOTES
[1] Sejarah
Indonesia (Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013), hal. 46.
[2] Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal. 1114.
[3] Bambang
Tri Purwanto dan Sunardi H.S., Membangun Wawasan Kewarganegaraan (Solo:
Platinum, 2013), hal. 23.
[4]
Pernyataan dari Notonagoro yang dikutip oleh Kaelan dalam buku Pendidikan
Pancasila (Yogyakarta: 2004), hal. 62.
[5] http://indonesiaku.lintas.me/go/rakatalenta.com/inilah-para-pejabat-yang-tenyata-tidak-hafal-pancasila/.
Diakses pada 9 April 2014.
[6]
Budi Hatees, “Kerusuhan Sosial dalam Sajak” dalam Riau Pos, 28 Juli 2013.
(Purwokerto: OBSESI Press, 2014) |
Comments