Pendidikan ‘Horor’*
Kemarin sore, saya terhenyak ketika
mendengar berita di televisi yang mengabarkan pelecehan seksual pada anak usia
dini yang dilakukan oleh seorang guru TK. Kenapa bisa terjadi hal sebobrok itu?
Seorang guru dengan jenjang pendidikan yang memadai, semestinya memberikan
pengajaran malah meruwetkan keadaan.
Belum lagi kasus sekte seks bebas yang pernah muncul di Bandung, pada Mei
tahun lalu (VIVA news). Seorang ibu dan anaknya melakukan seks bersama. Si anak
melihat bahkan membiarkan ibunya digilir sembilan pria dalam satu ruangan.
Lebih gilanya lagi, ada beberapa pasangan yang melakukan ‘ritual’ itu di alam
terbuka. Sebenarnya apa maksud kegiatan tersebut? Mengapa tidak sekalian saja
memproduksi film porno supaya mereka bisa menghasilkan berpundi-pundi rupiah
sekaligus mendapat ganjaran di akhirat kelak?
Persoalan-persoalan semacam itu harus kita cari penyebabnya.
Faktor-faktor pemicunya memang beragam. Tetapi, seperti yang kita ketahui,
bahwa apa yang kita lihat, dengar, dan pikirkan akan berpengaruh pada tindakan
kita. Maka, saya pikir, tontonan adalah virus terganas yang menyebabkan
maraknya kasus-kasus seks menyeruak.
Di Indonesia, film yang laris di pasaran adalah film-film
yang menjurus ke arah seksualitas. Bisa kita lihat pada film-film bergenre horor yang menampilkan adegan-adegan erotis yang mengarah pada
adegan seks. Adegan-adegan yang menurut saya tidak perlu ada dalam film horor.
Hemat saya, itulah sebabnya film horor Indonesia sama sekali tidak menimbulkan
rasa takut, tapi malah membangun rasa penasaran pada adegan-adegan ‘panas’ yang
disuguhkan.
Maka dari itu, kita bisa menyatakan bahwa paradigma berpikir sebagian
manusia Indonesia sedang ‘konslet’, lantaran terlalu banyak mengkonsumsi
gambar, cerita dewasa, video porno dan tentu saja: film-film horor Indonesia.
Ketika kabar pendidikan seks akan diajarkan di sekolah-sekolah menyebar, banyak
pihak yang tiba-tiba uring-uringan. Mereka menganggap sex education tidak akan memberikan manfaat, justru malah membuat
para pelajar tambah ‘nakal’ karena diberikan pelajaran yang belum semestinya
dipelajari. Bagi saya, itu ironis sekali, karena secara tidak langsung kita
membiarkan media-media pornografi dan film-film berbau seks menggantikan peran sex education pada anak-anak muda kita.
Jarang sekali saya mendengar diskusi mengenai pendidikan seks. Pendidikan
seks lebih banyak saya jumpai pada buku-buku bacaan. Sekolah pun, saya kira
belum memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan seks. Semasa SMA,
tidak pernah guru Bimbingan Konseling (BK) saya menyampaikan materi perihal
pendidikan seks. Juga pada pelajaran Biologi, saya sebagai siswa SMA merasa
seperti bukan anak SMA, materi yang diajarkan hanya perkenalan pada alat-alat
reproduksi. Saya bergumam pada waktu itu, “Anak
SD sih tau Bu.”
Apakah para guru mengetahuinya, tetapi menganggap seks itu sebagai
sesuatu yang tabu untuk diperbincangkan? Atau mungkin mereka merasa malu untuk
menyampaikannya pada para siswa? Atau mungkin mereka benar-benar tidak dan tak
mau tahu persoalan pendidikan seks? Padahal, tak jarang pula saya melihat
kalimat semacam ini: Pendidikan Seks
Harus Diberikan Sejak Dini.
Menurut WHO, saat usia menginjak remaja, rasa ingin tahu terhadap
berbagai hal sangatlah besar. Dan, terlebih lagi mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, maka
pendidikan seks untuk remaja benar-benar wajib digalakkan.
Sebenarnya pendidikan seks tidak hanya berkutat pada pengenalan alat
reproduksi beserta fungsinya, proses terjadinya pembuahan, kehamilan serta kelahiran. Tidak hanya itu,
pendidikan seks berbicara pula mengenai etika, moral, perilaku seksual,
hubungan seksual, sampai pada kejiwaan.
Sebagai muslim, kita pasti mempercayai bahwa Al-Qur’an dan Hadits adalah
pedoman hidup manusia. Segala perihal kehidupan manusia telah diatur di
dalamnya, termasuk persoalan seksual. Memang, dalam Al-Qur’an dan Hadits
persoalan seks tidak dibahas secara gamblang. Tapi kita bisa merujuk pada salah
satu cabang ilmu agama Islam, yaitu fiqih.
Di tempat saya mondok, saya
mengenal kitab Qurrat Al-‘Uyun,
salah satu kitab yang mengkaji seksualitas. Kitab karangan Asy-Syeikh
Al-Imam Abu Muhammad ini merupakan
kitab standar yang banyak dipakai di pondok-pondok pesantren dalam membahas sex education. Dalam kitab ini, wawasan
mengenai seks banyak dibicarakan, di antaranya: waktu yang tepat untuk
melakukan persetubuhan, tanggal dan hari pantangan, adab serta tata cara berjimak, dan lain-lain.
Qurrat Al-‘Uyun menyebutkan
beberapa adab berjimak, antara lain: (1) menggunakan
wewangian sebelum berjimak, (2) hendaknya istri melepas semua pakaian yang
melekat pada tubuhnya, (3) bercumbu sebelum melakukan jimak, (4) mengucapkan doa:
Allohumma jannibnas syaithaana wajannibis
syaithaana maa razaqtanaa,
(5) menggunakan penutup (baca: selimut) tatkala berjimak, (6) dan seterusnya.
Menurut saya, kitab ini memiliki keunggulan dalam berbicara
soal seksualitas dibandingkan dengan pendidikan yang diajarkan lewat gambar
atau video. Pendidikan seks lewat gambar atau video saya pikir masih belum bisa
meredam nafsu saat kita mempelajarinya, lain halnya dengan mempelajari Qurrat Al-‘Uyun. Ketika mengkaji kitab
ini, tentu kita berhadapan dengan tulisan serta bahasa Arab, dan kita akan
menghormatinya, mungkin di situlah letak peredam nafsunya. Kemudian, bahasa
seksual dalam kitab ini lebih terdengar sopan (tidak fulgar). Kitab ini,
tergolong kitab kuno yang sampai sekarang masih dikaji di pondok-pondok
pesantren. Bahkan ada yang mengatakan, Qurrat
Al-‘Uyun merupakan kitab yang angker (horor) sekaligus kharismatik.
Saya kira, bahasan dari Qurrat Al-‘Uyun pun memang menarik. Karena di
dalamnya terkandung perihal hubungan badan menurut syariat Islam. Tetapi
semuanya kembali pada kemauan pribadi masing-masing kepala dan hati. Akankah
pendidikan seks ini digarap secara serius? Ataukah membiarkan masalah-masalah
sosial, semisal masalah seks terus menjamur?
*Esai ini pernah
dimuat di koran Harian Banyumas
Comments