Ampun Sikerei!*
oleh Wahyu Noerhadi
Semua
warna dan suara berpadu jadi satu dalam sewaktu. Rasa-rasanya hanya di sini bisa
dijumpa, dirasa. Tapi entah pula di luar sana, apa bisa juga? Aku tak terlalu
mengenalnya. Toh, di sini sudah bisa. Di kampung Lubaga, Siberut Utara.
Kunikmati dengan lahap semua warna dan suara yang berpadu
jadi satu dalam sewaktu itu dari serambi muka uma yang cukup luas, karena uma yang
luas juga tentunya. Dihuni oleh lima kepala kelurga dari keturunan yang sama. Semua orang
dewasa dalam uma kedudukannya sama,
kecuali kakekku yang mempunyai hak lebih tinggi sebagai sikerei yang dapat menyembuhkan penyakit dan seorang pemimpin dalam
punen.
Setiap pagi aku duduk di serambi. Di sini pula aku selalu didongengi oleh kakek tentang legenda-legenda suku kami
dengan dongeng yang juga
selau berganti-ganti. Tak ada habisnya dongeng yang kakek ceritakan. Seolah-olah ada ratusan dongengan di kepala kakek untuk
diceritai kepada
cucunya ini.
Tiba-tiba
rasa itu kembali lagi. Aku merasai ada suatu pertentangan dalam diri. Ya,
akhir-akhir ini pikiranku yang sehat sesehat-sehatnya terus digerayangi oleh berbagai macam dunia khayali. Macam
dunia yang tak mungkin terjadi di muka bumi. Seolah-olah alam mimpi bisa
menyelinap masuk tanpa izin ke alam luar mimpi. Seenak perutnya sendiri. Aku mulai tak mengerti apa
yang kakek ceritai. Apa mungkin kakek karang dongeng sendiri? Tapi,
rasanya tidak! Kakek begitu yakin pada dongengnya, bahwa pernah ada dan terjadi di Mentawai.
Namun aku
meyakini, apa yang kakek ceritai tak mungkin ada dan terjadi di dunia nyata.
Semua itu hanya mimpi belaka. Riskan sekali aku meyakini kebenarannya. Tapi, mengapa kakek yakin betul kebenaran
ceritanya? Hentikan! Sudah hentikan! Tolong hentikan! Batinku
bertentangan. Baiklah biar kusampaikan apa yang dahulu kakek ceritakan. Cerita
yang bahkan kemungkinan sekecil-kecilnya pun tak mungkin ada dan terjadi. Ada
dua cerita yang aku masih ingat betul sampai sekarang. Aku masih ingat setiap
kata, kalimat, yang kakek ucapkan dan dimana kakek berhenti sebentar untuk
jedanya. Untuk mengambil nafas dalam-dalam, karena cerita dibawakan dengan
tegang. Aku
amati betul ketegangannya dalam keteganganku
mendengarkannya. Terkadang
kedua sisi bibir kakek menghasilkan busa putih dan kental
dalam setiap ketegangannya bercerita.
Cerita
tentang seorang laki-laki yang beristrikan Siainyong[i]. Syahdan hiduplah sepasang suami-istri yang setiap waktu seoalah-olah cinta bersemi. Mereka disebut-sebut sebagai pasangan paling
serasi di kampung ini. Terkadang ada juga pasangan lain yang iri dan tak senang hati ketika melihat mereka berjalan
bersama ke sungai atau ke ladang di pagi atau sore hari. Termasuk kakek dan nenek
ikut iri. Sungguh rasanya mereka tak pernah menemui sengsara dan
duka selama hidup mungkin hingga mati. Siapa mengerti?
Suatu
waktu si suami pergi ke hutan untuk mencari kayu api. Si istri tinggal sendiri di
serambi,
menunggu kedatangan si suami. Tiba-tiba Sianyong
mengagetkan si istri dan berkata, “Kau harus pergi dari sini! Sebab suami itu
bukan suamimu. Tetapi suamiku. Kalau engkau tidak mau pergi, akan kuhisap isi
kepalamu.”
Tanpa
berkata sepatahpun, si istri lari terbirit-birit ke hutan karena amat takut
akan ancaman yang diberikan. Si istri bersembunyi di atas pohon kubbu yang tinggi dan lebat.
Setibanya
di rumah si suami tidak menyadari bahwa istrinya itu adalah Siainyong, karena Siainyong benar-benar telah menyerupai istrinya dengan wajah dan
bentuk sesempurna-sempurnanya. Berhari-hari si suami tinggal bersama Sianyong. Si istri masih di atas pohon
dan tidak berani pulang. Ia begitu takut kalau-kalau bertemu Sianyong, yang nantinya akan mengisap isi kepala.
Berminggu-minggu
si suami masih belum menyadari bahwa istrinya itu adalah Siainyong. Si istri hampir tidak kuasa lagi menahan gemetar ketakutannya.
Dengan seluruh keberanian yang masih dimiliki, akhirnya si istri pun memutuskan
untuk pulang dan berbicara kepada suaminya. Ketika
si istri sampai di pelataran munculah Siainyong dan berkata, “Benar engkau tak takut akan ancamanku?”
Si
istri mencoba menjawab meski dengan seluruh tubuh bergetar, “Aku tidak takut
akan ancamanmu, aku tidak takut kehilangan isi kepalaku. Aku hanya benar-benar
takut jika harus kehilangan cinta suamiku. Karena engkau yang merebutnya dariku,
atas ketidaksadaran suamiku...”
Si
istri belum juga selesai berbicara Siainyong
langsung menyergap dan melakukan apa yang sebelumnya ia katakan. Mayat si
istri ia buang ke lautdan tinggalah si suami dan Sianyong selama-lamanya.
Benar-benar
tak masuk di akal bukan? Manusia berkeluarga dengan roh? Jadi apa nanti anaknya? Cinta seperti apa
yang menghujam hati mereka? Roh punya cinta? Ha-ha-ha… Mustahil. Bodoh sekali jika
aku mempercayai. Cerita lainnya yang tak kuceritakan di sini juga sama saja
mustahilnya. Cerita tentang pria yang beristrikan tikus, wanita-wanita yang mengandung
karena angin, dan cerita-cerita lainnya yang pernah kakek ceritakan.
Semua
sudah jelas kekeliruannya. Ini dunia nyata. Bukan mimpi atau khayalan semata.
Orang-orang dahulu rasanya gemar sekali mengkhayal. Dan meyakini kekhayalannya.
Ah…Sudahlah!
Aku meyakini betul kekeliruan kakek tentang
cerita-cerita yang diyakininya. Andai kakek
masih hidup. Akan kubenarkan kekeliruan yang dahulu begitu diyakininya.
“Nak,
sini bantu ibu. Ibu mau menyiapkan bekal buat ayah!”. Tiba-tiba saja aku
dikagetkan oleh suara ibu yang ternyata sedari tadi memanggilku.
Akhirnya
aku terbebas dari pikiran-pikiran khayali yang membelengguku selama ini. Dan
sekali lagi aku telah meyakini betul cerita-cerita kakek tak mungkin ada dan
terjadi di muka bumi.
“Iya
bu,” timpalku cepat.
“Ibu
mau menyalakan api untuk memasak. Kau bantu mengupas
keladi dan pisang. Jaga adikmu juga ya nak.”
Aku
mulai mengupas keladi dan pisang. Ayah menyiapkan perlengkapan. Adik kecil di
sampingku bermain kulit keladi dan kulit pisang. Kumasukan keladi dan pisang
yang sudah terkupas ke dalam bambu. Kuantarkan ke ibu. Untuk dimasak terlebih
dahulu.
Selesai
dimasak, bambu-bambu itu diikat dan dimasukkan ke dalam keranjang. Ibu dan kami
selalu mendo’akan atas keselamatan ayah ketika hendak pergi. Ibu begitu
mencintai dan menyayangi ayah. Ayah juga sebaliknya. Tak pernah kudengar
rasanya mereka bertengkar atau saling berbicara kasar. Keduanya saling
mencintai. Menyayangi dan saling menghormati. Kelak aku ingin mempunyai seorang istri
seperti ibu. Dan aku akan jadi seperti ayah.
***
Sore
hari ayah pulang. Aku dan adik begitu senang. Ayah membawa banyak sekali ikan.
Tapi ada yang aneh dengan raut wajah ayah. Tidak seperti biasanya. Ayah
kelihatan begitu kurang senang dengan
banyak ikan yang didapatnya. Aku tidak terlalu menghiraukan. Mungkin ayah hanya kelelahan. Ayah langsung
masuk ke dalam. Ikan-ikan dalam keranjang, ayah letakkan di pelataran. Satu
keranjang tertutup, ayah bawa masuk dalam erat genggaman.
Tiba-tiba
ibu berlari ke luar. Masuk hutan sendirian. Membawa tangis dan wajah
kekecewaan. Meniggalkan kami anaknya keheranan. Adik berlari mengejar
dan ibu tak perdulikan. Ibu terus berlari dan menghilang dalam
hutan. Adik menangis tersedu-sedan. Aku amat
kebingungan.
“Ibumu
benci sekali kepadaku,” dengan nada tinggi ayah mengejutkanku
“Ibu
mencintai dan menyayangi ayah,” timpalku.
“Ayah
diberi bekal kulit keladi dan kulit pisang. Apa itu cinta dan sayang...?”
Dengan
raut wajah merah padam ayah menjelaskan. Tak kudengarkan semua
perkataan. Aku langsung mengejar ibu dan
adik yang masih menangis tersedu-sedan, kugendong kuajak ke hutan.
“Ibu, ibu, di mana engkau?
Jawablah aku Ibu!”
Aku
terus masuk ke hutan. Sambil teriak-teriak barangkali ibu tak mendengar. Lama
tak kutemukan dan belum juga ada sahutan. Tiba-tiba terdengar:
“Anakku, anakku. Ibu di sini. Kemari!”
Aku
menghampiri. Ibu sedang duduk di sebuah gubuk tua dan memandang ke arah kami
dengan sisa air mata di kedua pelupuknya. Sebelum aku berkata, ibu mendahuluinya:
“Hari sudah gelap. Kalian tidur di gubuk ini saja. Ibu
bersama kalian.”
Aku
memang kelelahan. Teriak-teriak sambil menahan berat si
adik yang tertidur dalam gendongan. Aku terbaring namun mata belum bisa langsung terpejam. Adik sudah tidur
di pangkuan. Ibu mencubitnya, lalu adik menangis. Ibu berkata, “Tidak apa-apa
anakku, itu nyamuk para leluhurmu.” Adik tidur lagi dan dicubit juga. Tidak
bergerak si adik. Si adik sudah tidur pulas. Mataku lama-lama
terpejam dengan sendirinya.
***
Hari
sudah terang dan ibu tak ada di tempat. Adik masih nyenyak. Kemana ibu? Pagi sekali ibu
pergi. Tiba-tiba adik terbangun dan menangis, karena ibu tak ada di sampingnya.
Aduh… Mana adik masih harus menyusu. Dan aku belum mendengar
penjelasan dari ibu. Maka,
aku pergi lagi mencari ibu.
“Ibu, ibu, jawablah panggilan anakmu ini. Si
adik kehausan. Berilah air susu buat si adik.”
Kali
ini lama sekali aku mencari. Lebih lama dari kemarin. Hari juga sudah petang. Adik sudah
tak tahan ingin menyusu di pangkuan. Aku
juga sedikit kelaparan. Ah… kami begitu kesusahan. Aku sudah
lelah sekali. Lebih lelah di antara semua kelelahan. Kaki
pegal dan kesemutan, berjalan sambil
menggendong adik yang terus-menerus menangis tak tertahankan. Aku sudah
putuskan untuk berhenti sebentar untuk sejenak
merebahkan kaki dan badan. Aku bersandaran di bawah pohon sambil coba
menghentikan tangisan si adik, namun tetap tak terhentikan. Tiba-tiba dari kejauhan kulihat ibu sedang berdiri di tepian
sungai. Ibu menyadari keberadaan kami dan berkata:
“Oh,
anak-anakku, kemarilah!”
Adik
masih saja harus kugendong meski aku kelelahan. Meski kaki pegal dan kesemutan,
aku coba berlari menghampiri ibu di kejauhan. Aku langsung berkata tanpa harus menunggu
perkataan yang akan ibu lontarkan, karena memang butuh penjelasan.
“Ibu,
mengapa ibu meninggalkan uma dan membiarkan
kami kesusahan? Mengapa ibu waktu itu berlari ke hutan sambil terus
menangis? Apa yang terjadi? Apa benar ibu membenci ayah?
Ibu masih mencintai dan menyayangi ayah bukan?”
Dengan
wajah merah padam juga ibu menjelaskan, “Ayahmu yang benci sekali kepadaku. Ibu
diberi ular air dan katak kecil yang direbus yang dimasukkan ke dalam bambu.
Ayahmu tidak pernah mencintai dan menyayangi ibu...”
Aku
tak berani memotong ucapan ibu. Ibu bercerita sambil terus mencucurkan air mata
di kedua pelupuknya. Aku tak kuasa menanyakan siapa yang memasukkan kulit keladi dan kulit
pisang ke dalam bambu untuk bekal ayah. Baru kali ini kulihat ibu begitu
sedihnya. Sedih dan kecewa ia jelaskan lewat air mata dan raut wajahnya.
“Sudahlah
malam ini kalian tidur lagi di sini.” Ibu mengakhiri.
Akhirnya
aku dan adikku lagi-lagi harus tidur di gubuk tua itu bersama ibu, karena hari
sudah benar-benar gelap pekat. Jalan sama sekali tak terlihat. Adik sudah pulas
tidurnya.
Kali ini dengan cepatnya mataku juga terpejam dengan sendirinya.
***
Pagi-pagi
sekali aku terbangun. Namun adik masih tertidur. Pagi itu pagi yang
menyakitkankan di antara semua kesakitan. Paling menyedihkan di antar semua
kesedihan. Aku melihat ibu berjalan dengan empat kaki dan kepala seperti rusa.
Ibu menoleh kepadaku dengan bola mata yang
berkaca-kaca dan berkata:
“Maafkan
ibumu ini anakku. Sekarang kau sudah tahu. Malam hari aku ibumu. Siang hari aku
binatang yang selalu siap untuk diburu. Jika kau malu, tak perlu anggap aku
ibumu. Semua ini karena ayahmu. Ibu sangat sakit hati atas kelakuan ayahmu. Tak
usah kau temui ibumu lagi. Barangkali esok ibu sudah diburu dan mati.”
Ibu lari sangat
cepat seperti rusa yang hendak dimangsa. Aku tak
percaya dengan apa yang kulihat dan kudengar tadi. Hatiku sedih dan sakit
sekali. Aku tak harus berbuat apa? Aku hanya menangis, menangis dan menangis. Adik terbangun
mendengar tangisku. Dan
ia ikut menangis.
“Jangan menangis
dik, kita akan pulang. Nanti ibu juga ikut pulang”
Aku mencoba
menghibur adik, meski dengan tangis. Namun adik terus saja menangis. Karena melihat aku yang
juga terus menangis. Aku
tak bisa menahan tangis. Air
mata ini mengucur sendiri dengan derasnya.
Aku dan adik
pulang dengan tangis. Aku
menangis melihat ibu menangis dan adik menangis melihat aku menangis. Tangis adik sudah reda,
karena kucoba dengan segala usaha agar tangisku reda. Aku tak tahu pulang mau
apa? Tapi ibu sudah jadi rusa dan takkan kembali ke uma. Jalanan
berbayang dan langkahku gontai. Mata masih berkaca-kaca dan tubuh ini terasa
sangat letih. Adik sedari tadi tertidur dalam gendongan. Aku juga sudah tak
kuat berjalan meski lamban. Akhirnya terhenti di bawah pohon rindang. Aku dan
adik tertidur sangat lama dan ternyata senja sudah nyala.
Rasa letih
hampir tak ada. Namun sedih dan sakit masih terasa. Karena hati tak bisa
direkayasa. Mungkin lama-lama berkurang juga. Tapi tubuh dan hati mesti
kupaksa. Karena, sebelum malam tiba aku sudah harus sampai di uma. Aku akan lanjutkan perjalanan
pulang sebelum senja tiada. Aku bangkit dan menyempatkan diri untuk mencuci muka di tepi rawa dan aku tak
percaya:
“Haaah… tidaaak…”
“Oooh… Anakku. Kau sudah melihatku”
“Apa kau
ayahku?”
“Iya, anakku. Maafkan ayahmu ini.
Kau sudah mengerti rupa ayahmu. Siang hari aku ayahmu. Namun malam hari seperti
ini bentukku. Ayah tahu kau kecewa anakku. Tapi ini bukan kehendak ayahmu. Ini
semua karena ibumu. Ayah sangat sakit hati atas kelakuan ibumu. Ayah sudah jadi
pemangsa. Ayah sudah jadi buaya. Esok barangkali bentukku sempurna dan tak
mengenalimu juga. Jadi, tak usah kau temui
ayahmu. Aku
takut, jika harus memangsamu.”
Ayah sudah pergi
dan takkan kembali. Aku jatuh dan tersungkur di tanah. Sedih dan sakit
kembali menjelma. Aku sudah tak bisa menangis, air mata telah habis. Jika mata
memaksa untuk menangis dan aku tak kuasa juga. Aku memilih mati saja. Apa yang
telah terjadi pada dunia? Mengapa cerita-cerita kakek yang tak
kupercaya malah menimpa aku sekeluarga.
Ibu yang menjadi rusa dan ayah yang menjadi buaya[ii].
Anaknya mau jadi apa?
Daftar Kosa Kata:
Punen :
Masa tabu yang mengikat semua anggota uma.
Istilah punen sekarang dipakai
dalam arti pesta.
Sianyong :
Roh jahat di hutan. Digambarkan sebagai seorang nenek.
Kubbu : Pohon tinggi, dengan
rantingnya panjang dan daunnya besar.
*Cerpen ini masuk dalam antologi Pohon Dakwah, dan terbit di majalah Mayara
Comments