malam itu aku dibungkam gelap. rembulan
dan gemintang rupanya telah lenyap terbawa arus darah yang meluap, tak menghiraukan
dada. aku ikut hanyut dan tersedak hari kemarin.
(Analisis Cerpen “Pelajaran Mengarang” Karya Seno Gumira Ajidarma) oleh Wahyu Noerhadi A. Pendahuluan Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta yang berarti “ teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar sas yang berarti “instruksi” atau “ajaran”. [1] Sastra adalah pengungkapan realitas kehidupan masyarakat secara imajiner atau secara fiksi. Dalam hal ini, sastra memang representasi dari cerminan masyarakat. Senada dengan apa yang diungkapkan oleh George Lukas bahwa sastra merupakan sebuah cermin yang memberikan kepada kita sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik. [2] Sastra dapat pula diartikan sebagai sebuah tulisan, karangan, bahasa atau kata-kata yang memiliki nilai estetika atau keindahan. Melalui karya sastra manusia dapat mempelajari dan menghayati setiap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya, karena karya sastra pun lahir dari kehidupan itu sendiri. Fungsi dari sast
Oleh: Wahyu Noerhadi Ia sudah begitu muak dengan semuanya. Segala hal yang ada di hadapannya sudah tentu akan dinilai salah olehnya. Bahkan ketika ia telah sampai di sebuah warung makan, kemuakannya belum juga sirna. “Pakai apa, Mas?” “Telur, Pak.” Sapto menunjuk dengan dagunya. “Ceplok, dadar, telur asin, atau telur puyuh?” Si empunya warung kembali bertanya. Sapto menjawab setelah mengembuskan nafas panjangnya. Ia menyerah dan merasa wajib menjawab pertanyaan itu demi menuntaskan suara nyaring cacing-cacing dalam perutnya. Ia tak mengerti, mengapa lelaki tua itu harus kembali bertanya padanya. Padahal, ia sudah menjawab dengan isyarat yang ditunjukkan dagunya. Tapi, Sapto tak sampai hati melontarkan kekesalannya itu. Karena, ia tahu, hal itu hanya akan membuang-buang energinya, yang memang hampir habis digerogoti kekesalannya. Sapto menyantap sarapan—sekaligus makan siangnya—tanpa selera, lantaran rasa muak itu telah lebih dulu mengendap dalam dirinya. Ia makan de
Catatan Wahyu Noerhadi Lukisan bertajuk "Merajut Tali Persaudaraan" karya A. Nazilie (2017) Siang itu, tidak sengaja aku berjumpa dengan seorang kawan di kantin kampus. Duduklah kita; pesan makan-minum, merokok, dan ngobrol. “Satu waktu pas gue mau liputan di tempat penggusuran, gue iseng-iseng tanya perasaan si ibu yang lapaknya bakal kena gusur. Si ibu itu punya anak tiga, kecil-kecil, dan suaminya nggak tau ke mana. Gue ‘kan sedih, ya. Dan, elu tau apa jawabannya waktu gue tanya perasaan si ibu itu dan bakal gimana setelah lapaknya digusur?” Pertanyaan yang bukan sungguh pertanyaan. Bang Anto, seorang editor di sebuah media nasional, melanjutkan, “Katanya biasa saja, karena baginya itu hal yang biasa. Si ibu itu bakal cari tempat lain buat lapaknya. Ya, gue liat dan denger sendiri, si ibu itu mengungkapkannya dengan enteng, biasa-biasa saja.” Bang Anto mengambil jeda, mengisap dan mengembuskan asap rokoknya. “Nah, kalo pas gitu, kadang—ya, kadang—
-Mulai dari Tari Peresean, Kawin Culik, sampai ke Tahi Kerbau Rombongan Riweuh Usai merampungkan beberapa acara, kami menyempatkan diri berkunjung ke Kampung Sade; sebuah kampung adat yang terletak di Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, NTB. Sesampainya di Kampung Sade, kami dan para pengunjung lain disuguhi iringan musik serta pertarungan kedua lelaki yang mengenakan pakaian adat. Bukan, bukan tarung betulan. Itu adalah tarian. Kalau kuping saya tidak keliru, pemandu bilang nama tari tersebut adalah tari Peresean. Tari Peresean “Tari Peresean ini ada sejak zaman kerajaan di Lombok. Tari ini diperagakan dalam rangka menyambut para prajurit saat pulang dari medan perang,” kata Talib si pemandu. Tari Peresean Tari atau pertarungan dengan iringan musik itu, disenjatai tongkat sebagai pemukul serta tangan kiri dilengkapi dengan tameng. Peraturannya, masing-masing petarung tidak boleh memukul bagian perut ke bawah. Hanya perut sampai kepala yang bo
Oleh: Wahyu Noerhadi Sebetulnya, cukup lama saya ingin mengungkapkan hal ini. Sebab, jika terus-terusan dipendam, rasanya sangat tidak nyaman. Ibarat bersin yang gagal. Begini: saat ujian skripsi—di kampus saya disebut dengan istilah munaqosyah—saya betul-betul ingin menanggapi pendapat, kritik, dan saran dari para penguji atas skripsi saya yang berjudul “Komunikasi Sufistik dalam Kajian Realisme Magis (Telaah Realisme Magis Wendy B. Faris terhadap Kumpulan Cerpen Lukisan Kaligrafi Karya A. Mustofa Bisri)”. Dalam beberapa—sesungguhnya hanya satu—hal, saya menyetujui saran para penguji atas skripsi saya itu. Terutama soal metodologi penelitian yang harus dipindahkan ke bab 3, dan tidak lagi di bab 1 (pendahuluan). Pada bagian itu, saya memang keliru, karena menggunakan buku panduan skripsi yang belum direvisi. Ya, meskipun skripsi yang susun itupun tentunya berdasar pada referensi skripsi-skripsi sebelumnya, baik dari kampus sendiri maupun kampus lainnya, semisal UI, UGM, dan UI
Comments