JENGGOT JABAR*

oleh Mahbub Djunaidi

PERGILAH ke seluruh pelosok Irak. Anda tidak bakal temui pria berjenggot, kecuali kumis. Apa karena dilarang Saddam Hussein? Sama sekali bukan. Itu cuma kesenangan dan selera belaka. Paling-paling karena dianjurkan istri masing-masing. Irak memang berkepentingan dengan ladang minyak, tapi tidak ada urusan dengan jenggot. Sebaliknya, pergilah ke Iran, Anda akan temui semua pria berjenggot mulai dari Khomeini sampai tukang bakso. Kenapa? Soalnya karena kesenangan dan selera. Pria Iran tanpa jenggot sama dengan ayam jago tanpa jengger, atau seperti ban mobil tanpa dop. Tidak ada aturan bahwa orang Syiah itu mesti berjenggot dan orang Baath itu hanya boleh berkumis. Berjenggot atau tanpa jenggot tidak ada hubungannya dengan ideologi dan UUD.
Dan pergilah sekarang ke seluruh kantor Pemda Jawa Barat, mulai dari pantai hingga ke puncak gunung. Anda tidak akan jumpai pegawai berjenggot. Kenapa? Apa melanggar Pancasila dan UUD 45? Apa karena orang berjenggot itu dikhawatirkan korup dan orang tanpa jenggot itu sudah pasti jujur dan bersihnya? Belum tentu. Berjenggot atau tidak berjenggot itu tidak ada hubungannya dengan Pancasila dan UUD 45, bahkan tidak ada hubungannya dengan akhlak. Itu Cuma ada hubungannya dengan peraturan sang gubernur. Karena gubernur melarang bawahannya berjenggot, maka sirnalah jenggot itu dari tanah Priangan.
Saya sendiri seumur hidup tidak pernah jadi pegawai negeri, artinya seumur hidup tidak pernah punya NIP. Tetapi, umumnya tetangga saya pegawai negeri dari segala tingkatan, dan umumnya mereka itu baik-baik dan punya pembawaan tenang, tidak pernah melompat-lompat dan bertepuk tangan sehingga menimbulkan gaduh. Mereka baru melompat-lompat dan bertepuk tangan kalau ada pertandingan sepak bola atau ada suara bakal naik gaji, tidak peduli akan terjadi segera atau beberapa bulan lagi. Dan menurut data yang saya kumpulkan, dari 1.000 pegawai negeri yang menjadi tetangga saya itu, cuma tujuh orang yang berkumis, dan cuma seorang yang berjenggot. Begitu ada larangan gubernur berjenggot, tetangga saya itu segera membabat jenggot begitu rupa sehingga tidak ada satu helai rambut pun tersisa.
“Wah, Anda kelihatan sekarang lebih kelimis, seperti buah ketimun,” kata saya.
“Beginilah pegawai negeri, Mas. Apa larangan orang atas mesti kita patuhi.”
“Kalau perintah mesti kepala gundul, apa Anda patuhi?”
“Iya dong. Bahkan kalau perintahnya mesti ke kantor tanpa kepala pun akan saya lakukan.”
“Alhamdulillah. Bergembiralah negeri ini punya pegawai negeri seperti Anda. Dengan disiplin, kemakmuran dan keadilan sudah dekat di pelupuk mata.”

MEMANG, antara birokrasi dengan rambut itu ada hubungannya. Misalnya, raja-raja Tiongkok dari dinasti Han dan Tang semuanya berkumis yang ujungnya mencuat ke atas. Pendeta-pendeta Budha di zaman itu pun menirunya. Dengan gaya begitu, mereka berharap bisa tampak lebih garang dan berwibawa sehingga penduduk bisa dibikin ciut olehnya. Bukankah menakut-nakuti penduduk itu ada perlunya buat kekuasaan? Tapi, kalau penduduk sudah pada berani dan tidak mudah digertak, birokrasi pun mencari jalan lain. Misalnya ketika Tiongkok berada di bawah dinasti Yuan dan Ming, tekniknya pun berubah. Kumis bukan lagi ujunganya mencuat ke atas, melainkan ganti menjuntai ke bawah. Apa maksudnya? Maksudnya supaya para birokrat itu kelihatan berkesan prihatin, bijak bestari, penuh haru melihat penderitaan penduduk, dan tidak doyan duniawi, alergi dengan duit.
Begitu di Tiongkok, begitu pula di Jepang. Ketika negeri memasuki era modernisasi zaman Restorasi Meiji tahun 1868, mereka menoleh ke Jerman dan mencontoh negeri itu. Termasuk potongan kumis. Karena kumis Wilhelm itu tidak mencuat atau menjuntai melainkan lurus ke samping peralel dengan lubang hidung, maka para birokrat Jepang pun menirunya. Hanya saja karena suatu saat kumis belah kanan kaisar Wilhelm tersambar api cerutu sehingga yang belah kiri pun perlu dipenggal supaya simetris, gaya baru ini tidak sempat ditiru birokrat-birokrat Jepang.
BUAT Jawa Barat, masalah rambut yang tumbuh di badan ini bukanlah yang pertama kalinya. Misalnya, di tahun 1973 ramai dibicarakan perihal rambut gondrong. Dianggap, rambut gondrong itu pertanda berandal dan ugal-ugalan. Maka mahasiswa diharuskan agar memotong rambutnya. Apakah mereka tunduk? Ternyata tidak. Dewan Mahasiswa ITB, Padjajaran, Parahiyangan, saat itu menolak larangan berambut gondrong. Rambut gondrong itu masalah mode dan masalah selera, tidak ada sangkut pautnya dengan masalah akhlak. Apa mentang-mentang berambut gondrong lantas orang mesti dianggap brengsek dan tidak tahu aturan? Apa orang-orang yang rambutnya dipotong rapi itu mesti orang berbudi dan tidak korup? Tidak sesederhana itu.
Koran kampus Mahasiswa Indonesia saat itu terbitan September 73 dengan gigih menolak larangan rambut gondrong dengan paksa. Soal mau gondrong atau mau rambut pendek itu masalah pribadi, itu masalah mode, itu masalah selera. Jangan mencampuri masalah mode dan selera pribadi. Bukankah Lasykar Karawang-Bekasi itu gondrong rambutnya? Bukankah Bung Tomo itu dulu gondrong rambutnya? Bukankah Einstein dan Beethoven dan Rabindranath Tagore gondrong rambutnya? Siapa berani bilang mereka semua itu orang-orang brengsek dan tidak tahu aturan?
Saya tidak tahu persis apa yang akan ditulis oleh koran kampus itu jika masih hidup dan mendengar larangan berjenggot di daerahnya. Yang jelas, tetangga saya sudah terlanjur bermuka licin seperti ketimun. Sebagai penduduk saya sekedar berharap, mudah-mudahan muka bersih bisa menghasilkan pemerintahan bersih. Soalnya, penduduk sudah pandai membedakan apa yang disebut bersih dan kotor itu. Rakyat tidak tolol.


KOMPAS, 24 JANUARI 1988


*Termaktub dalam "Asal Usul" Mahbub Djunaidi

Comments

Populer Post

KEHIDUPAN DAN “PELAJARAN MENGARANG” DARI SANG PENGARANG

Isi Kepala Sapto*

Hidup Hanya Singgah untuk Memandang dan Mendengarkan

Menengok Adat Suku Sasak di Kampung Sade

Pembelaan yang Datang Terlambat