EKS TAPOL*
oleh
Mahbub Djunaidi
TEKADNYA sudah bulat jadi pegawai Pemda. Siapa tahu
nasib baik bisa jadi gubernur, atau Mendagri. Sumpah jabatan dihafalnya luar
kepala. Urusan dengan rakyat diselesaikannya dengan baik sebelum waktu yang
diharapkan. Uang pelicin ditolaknya dengan tersenyum.
Tapi kerikil ada di mana-mana. Karena kawan-kawan
sekerja mengkritiknya berbini anak tapol, ia berpikir keras. Walau ia tahu
persis bininya tak tahu apa-apa, tak tahu apakah Karl Marx itu sebangsa manusia
atau jenis mobil, maka diajaknya sang bini bicara baik-baik. Demi kelancaran
tugas, sebaiknya kita bercerai saja.
Serentak didengarnya Juklak No 15 Kopkam 1982 yang
menjamin seseorang mantap ideologi dan setia kepada pemerintahan dan negara,
walau dari keluarganya ada yang terlibat G-30-S PKI, bisa tetap berada di
kantor.
Tokoh kita ini pun lekas-lekas kirim orang untuk
menemui bekas bininya dan minta rujuk, hidup normal sebagaimana biasanya. Sang bini
karena sudah kawin lagi dengan seorang usahawan yang bekerja mengumpulkan besi
tua untuk diekspor, menampik halus tawaran itu. “Teruslah kau bekerja di
kantor, tak usah pikirkan aku. Semoga berhasil cita-citamu jadi gubernur atau
Mendagri. Marilah kita saling doa semoga tidak ada hambatan datang menghadang.”
Mendengar ini, ia pun duduk tercenung. Sirna cita-citanya
jadi gubernur apalagi Mendagri. Untuk jadi kepala bagian saja dia sudah
ngos-ngosan. Segala rupa penataran, macam-macam lokakarya, aneka rupa
sarasehan, tak pernah luput dari perhatiannya.
Mengisi waktu luang, ia tidak memilih golf melainkan
main bola sodok. Begitu habis isya, berangkatlah ia main, menata bola di tempatnya,
dengan sekali sodok buyarlah bola ke tiap penjuru dan dengan sentuhan kecil, meluncurlah
bola ke lubangnya. Sekali tempo ada juga bola itu melompat ke luar meja, menggelinding
di sela-sela kaki hadirin.
TAK lama sesudah 70 seniman mengimbau pemerintah agar
mencabut pelarangan karya-karya sastra Pramoedya, disusul dengan diskusi di LBH
Jakarta bulan Oktober yang lalu dihadiri Adnan Buyung Nasution serta
tokoh-tokoh bekas tahanan politik baik kanan maupun kiri, akhirnya panglima
ABRI Jenderal Faisal Tanjung baru-baru ini menegaskan tanda ET (eks tahanan
politik) yang tercantum dalam KTP para tahanan dan narapidana politik tidak ada
masalah dari segi keamanan.
Kesan umum yang menganggap masalah itu tidak manusiawi
dan merupakan hukuman terus menerus pada yang bersangkutan, keluarganya serta
keturunannya pada akhirnya akan hapus. Tindakan ini akan disambut oleh beratus
ribu orang di Tanah Air.
Harapan tegas dialamatkan kepada ABRI untuk senantiasa
menampung pendapat umum yang melihat agar masalah ET ini tidak berlangsung
hingga kiamat. Orientasi kepada Pancasila dan UUD 45 serta budaya bangsa
menghendaki kita senantiasa melihat ke depan, menghimpun semua daya rakyat tak
terkecuali.
Bila pijakan didasarkan atas pernyataan Jenderal
Faisal Tanjung bahwa tidak ada masalah dari segi keamanan dan Mendagri dengan
kokoh berdiri di atasnya, maka segala aturan yang mengatur tanda ET yang
tercantum dalam KTP bisa dengan segera diangkat.
Layaklah diingat bunyi rekomendasi yang termuat dalam
pernyataan bersama tentang Hak Asasi Manusia yang ditandatangani oleh 109
organisasi menjelang Konferensi PBB bulan Juni di Wina setelah lebih dua dasawarsa
pembangunan dilaksanakan tibalah saatnya prioritas harus diberikan pada
realisasi dan penghormatan terhadap hak sipil politik dan demokrasi.
Karena itu, realisasi dari hak-hak itu adalah
prasyarat bagi keberhasilan pembangunan ekonomi dan politik dalam jangka
panjang. Penghormatan terhadap hak-hak sipil harus dapat menjamin individu
bebas dalam penahanan, penyiksaan, pemaksaan, dan penghukuman sewenang-wenang.
KOMPAS, 26 DESEMBER 1993
*Termaktub
dalam “Asal-Usul” Mahbub Djunaidi
Comments