Segalanya (memang) tentang Proses

oleh Wahyu Noerhadi

Di sebuah workshop atau kelas-kelas kepenulisan, mungkin akan selalu ada pertanyaan seperti ini: “Bagaimana sih cara membuat tulisan yang baik?”. Ya, pertanyaan semacam itu barangkali sering atau setidaknya pernah muncul di batok kepala kita—yang berkeinginan jadi penulis. Pertanyaan itu merupakan pertanyaan penting dan klise. Setelah saya cari tahu, ternyata jawabannya amatlah simpel. Kalau tidak keliru, saya pernah dengar Pram, ketika mendapatkan pertanyaan seperti di atas, beliau menjawab: “Nulis, nulis saja!”
Saya sepakat dengan jawaban simpel itu. Saya pikir, segalanya memang tergantung pada diri kita. Nasib ada di kita. Kita tidak mungkin jadi penulis, jika tiap hari kerjaan kita memukuli orang. Jika kita lebih gemar memukuli orang, sepertinya kita lebih cocok jadi preman atau pegulat ketimbang penulis. Ya, jika kita betul-betul ingin jadi penulis maka kita hanya perlu menulis, menulis, dan menulis. Menulis kapan pun dan di mana pun, kecuali dalam waktu dan tempat-tempat tertentu. Misal, kita tentu tidak bisa menulis ketika sedang sembahyang. Kita juga sepertinya dilarang menulis ketika sedang berada di toilet pom bensin. Terlebih di toilet lawan jenis. Intinya, kata Sori Siregar, kita hanya butuh menulis. Kita tidak perlu menunggu move on dari kegalauan lantaran diputus pacar, untuk menulis. Kita tidak perlu mood untuk menulis. Kita tidak perlu menunggu ilham apalagi wahyu ketika hendak menulis. Lagipula kita bukan wali atau nabi. Kita tidak perlu ini-itu, kita hanya perlu menulis. Tulislah segala hal yang kita lihat, dengar, pikirkan dan rasakan. Mustahil rasanya kita kehabisan bahan buat ditulis. Karena, saya rasa, semua hal bisa ditulis.
Ya, mungkin kita tidak bisa langsung membuat tulisan secantik karya-karyanya Alm. Gabriel Garcia Marquez, yang akrab disapa Gabo itu. Tapi tenang saja, menurut saya, itu cuman soal proses. Jika kita rajin membaca dan disiplin menulis, maka bukan tidak mungkin kelak kita mampu menghasilkan tulisan atau karya yang ciamik. Jadi, sekali lagi: nulis, nulis saja! Kita tidak perlu bersusah-payah memikirkan tema-tema besar agar menghasilkan karya yang baik. Kita bisa saja berangkat dari hal-hal yang remeh-temeh. Seperti yang sudah dan sering dilakukan Gabo. Lihatlah cerpennya yang bertajuk “Putri Tidur dan Pesawat Terbang” itu! Di cerpennya itu, beliau bercerita tentang seorang pemuda—mungkin dirinya sendiri—yang tergila-gila dengan keelokkan seorang gadis yang duduk di sampingnya, di pesawat. Ya, saya pikir, cerpen itu begitu sederhana, tapi amat menarik. Meski temanya sederahana, tapi akibat pengelolaan yang apik akhirnya cerpen itu mampu mengoyak-ngoyak perasaan pembaca, dan sedikit menyindir takdir. Beliau bisa menuliskan atau menceritakan pengalamannya dengan renyah, dan mampu membikin pembaca betah. Saya pun sering mendapati makhluk yang ayunya melebihi Dian Sastro di kereta, di bis, di angkot, di mana pun. Saya pun ingin menuliskannya seperti yang dilakukan oleh Gabo, tapi untuk saat ini saya masih pesimis atau belum yakin dapat menceritakannya sebaik dan semahir Eyang Gabo. Ya, sepertinya lagi-lagi itu soal proses. Saya kira, tak hanya perkara menulis, dalam bidang apa pun butuh proses untuk mencapai kemahiran serta kesuksesan.
Barangkali, saat ini saya juga bisa menyimpulkan bahwa kehidupan pun merupakan proses. Proses menuju kepunahan. Ya, segalanya adalah proses. Karena kehidupan adalah proses, lantas bagaimana proses kehidupan yang direka oleh Lilis dalam kumpulan cerpennya. Mari kita barang sejenak mencermati kesepuluh cerpen yang dibikin Lilis. Ya, ada beberapa proses kehidupan cerpen yang menarik bagi saya. Seperti yang bisa kita saksikan di cerpen Trilogi “Hibernasi”. Ketiga cerpen itu membahas tentang mimpi; tentang beberapa orang yang memiliki kemampuan menjelajahi alam mimpi orang lain. Saya pikir, tema cerpen itu pun menarik. Karena, setahu saya, tema tentang mimpi memang masih jarang digarap oleh pengarang lain. Lewat cerpen itu, Lilis terlihat asyik-masyuk bermain dengan imajinasinya. Hingga saya terseret arus imajinasinya. Namun, saya rasa, ketiga cerpen itu ‘enaknya’ memang dibuat cerbung saja—dengan judul “Hibernasi”, mungkin. Sebab, ketiga cerpen itu memang memaksa untuk dibuat cerbung; ending di cerpen “Hibernasi I” dan “Hibernasi II” itu amatlah menggantung. Selain Trilogi “Hibernasi”, ada lagi cerpen yang lumayan menarik, judulnya “Wanita Suci Titipan Tuhan”. Cerpen itu menggambarkan proses kehidupan di tahun 2050; bagaimana padatnya penduduk bumi, yang kemudian memaksa para wanita untuk tidak menikah dan tidak memiliki keturunan. Wanita-wanita itu adalah wanita yang memiliki tanda atau cap di punggung tangan kanannya. Cap itu bertuliskan: Wanita Suci Titipan Tuhan.
Saya juga tertarik pada cerpen yang bertajuk “Buku Kelimapuluh Nayla”. Saya tertarik karena dalam cerpen ini latar yang digunakan oleh Lilis bertempat di Paris—kota yang katanya begitu romantis. Saya pikir, beberapa cerpen Lilis sudah baik. Lewat cerpennya, Lilis mampu menyeret saya dan mungkin pembaca lainnya ke dalam imajinasinya; ia mampu memprediksi masa depan, dengan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin; ia juga mampu mengajak pembaca ke Paris, dengan detail-detail tempat yang ia deskripsikan. Saya tak tahu benar-tidaknya detail-detail yang disampaikan Lilis. Tapi, anggaplah benar seperti itu adanya. Selanjutnya, untuk cerpen-cerpen lainnya, saya kira penggarapannya masih belum maksimal. Di cerpen lainnya, Lilis menghadirkan tema tentang penantian, kisah-kisah merah jambu, atau tentang cinta yang tak terbalaskan. Ya, memang tema-tema yang klise. Tapi, sebetulnya tidak masalah juga jika Lilis mengungkapkannya dengan menarik, meski tema cerpen itu banyak dipakai oleh pengarang lain. Berarti, di sini pengungkapan (bentuk) adalah koentji. Karena memang sudah terlalu banyak tema yang sama yang digarap pengarang lain, maka sekarang kita tinggal memainkan teknik untuk menciptakan bentuk atau cara ungkap yang berbeda. Selain tema yang klise dan teknik yang kurang menarik, Lilis juga sepertinya kurang fokus pada sudut pandang (point of view) penceritaannya. Dalam beberapa cerpen, Lilis seolah hendak mencampuri urusan orang-orang ciptaannya. Mungkin, lantaran sudut pandang yang kurang fokus tadi akhirnya saya merasa begitu kesulitan membedakan antara suara Lilis dan suara orang-orang ciptaannya. Saya melihat dan mendengar seolah Lilis dan orang-orang ciptaannya itu sedang berebut suara. Ya, kita tahu, semua suara dalam kumpulan cerpen ini pada hakikatnya adalah suara Lilis. Tapi, bukankah Lilis telah memberikan hidup dan kehidupan pada tokoh-tokoh dalam cerpennya. Memang alangkah lebaih baik dan bijaknya jika Lilis membiarkan saja tokoh-tokoh yang dibuatnya itu untuk bersuara dan bercerita. Dan Mochtar Lubis pun pernah mengatakan, biarkan tokoh-tokoh yang kita (pengarang) ciptakan menyampaikan pikiran dan sikapnya sendiri. Kita tidak bisa serta-merta mengaturnya. Karena, kita juga bukan Tuhan. Kemudian, saya rasa, Lilis pun kurang menguatkan karakter tokoh-tokoh dalam beberapa cerpennya. Ada beberapa tokoh yang—saya lupa nama-namanya—memiliki karakter aneh. Tokoh itu memiliki emosi yang bisa seketika berubah seratus delapanpuluh derajat. Tokoh yang awalnya angkuh dan sinis, seketika sikapnya bisa melentur. Ya, mungkin ada orang-orang yang memiliki sifat layaknya tokoh yang diciptakan Lilis itu. Tapi, tetap saja, saya seperti melihat adanya keanehan.
Selanjutnya, ada satu hal yang nampaknya perlu dikurangi kadarnya oleh Lilis dalam meramu cerpen, yaitu kadar dakwah. Entah disadari atau tidak oleh Lilis, saya rasa, ada dua cerpen yang sering menyuratkan pesan-pesan kebajikan dengan begitu gamblang. Pesan-pesan itu kadang berbarengan disampaikan oleh narator, juga oleh tokoh-tokoh dalam cerpennya. Judul kedua cerpen itu “Cermin Hati” dan “Tuhan pun Tahu”. Terakhir, saya lihat Lilis rasanya kurang teliti atau kurang peduli pada cerpennya. Hampir di semua cerpennya terdapat berbagai kesalahan penulisan kata atau frasa. Padahal, setahu saya, seorang penulis sudah sepatutnya teliti dan peduli pada tulisannya. Sebab, tulisan adalah anak-anak rohani penulisnya. Husnudzhon saya, barangkali Lilis sedang terburu-buru.
Ya, itulah sedikit pembacaan saya—yang mungkin keliru—terhadap kumpulan cerpennya Lilis. Saya senang karena sudah ada sepuluh anak rohani yang dilahirkannya. Berarti, besok atau besok-besok bakal ada lagi anak yang kesebelas, duabelas, tigapuluh, limapuluh, seratus, dan seterusnya. Itu harapan saya. Mengenai tema, bentuk, sudut pandang, dan lainnya, saya rasa, kita perlu berpijak pada kata-kata Danarto pada Temu Sastra tahun 1982: Proses, proses, proses, proses, proses, proses, proses...


Purwokerto, Januari 2015

Comments

Populer Post

KEHIDUPAN DAN “PELAJARAN MENGARANG” DARI SANG PENGARANG

Isi Kepala Sapto*

Hidup Hanya Singgah untuk Memandang dan Mendengarkan

Menengok Adat Suku Sasak di Kampung Sade

Pembelaan yang Datang Terlambat