Sedikit Cerita dari Kawanku

Oleh: Wahyu Noerhadi

Akhirnya aku berjumpa lagi dengannya di kantin kampus. Sebenarnya, aku tidak menduga akan kembali berjumpa dengannya, meski aku pun mafhum, tiap pagi ia dan kawan-kawannya bakal nongkrong dan memesan ‘sesajen’ (kretek dan kopi hitam) di sini. Kini ia memang tampak lebih kurus ketimbang waktu kami masih sering bersama, ketika kami masih semester 3. Selain lebih kurus, janggutnya pun terlihat lebih lebat. Namun, ada satu yang tidak berubah darinya, yaitu penampilannya. Ya, penampilannya itu—yang kerap membuat orang barang sejenak tak bisa mengalihkan pandang padanya—selalu saja perlente.
“Hey, bagaimana kabarmu?”
“Ya, seperti yang kau lihat,” jawabnya sembari menarik kursi, dan duduk di hadapanku.
Sekitar lima belas menit kami berbasa-basi: saling menanyakan kabar dan kesibukan. Setelah lima belas menit yang membosankan itu, ia pun mulai mengubah air mukanya. Ia memang nampak sedang memenjarakan sesuatu dalam kepalanya, dalam hatinya. Hal itu bisa kulihat dari bola matanya. Matanya tajam, tidak seperti mata-mata yang sering kutemui di kampusku: mata-mata yang kosong dan polos, seolah tidak ada sesuatu apapun dalam batok kepalanya. Ya, seperti mata seorang dungu. Nah, kawanku yang satu ini boleh dikatakan sebagai antitesis dari kebanyakan mata-mata yang dungu itu.
“Akhir-akhir ini aku merasa semakin muak dengan cerita-cerita di kampus kita ini.” Ia memulai dengan keseriusan.
“Cerita-cerita apa yang kau maksud?” Tanyaku penasaran.
Ia terlihat sedang menimbang-nimbang, lantas, “Baiklah, akan kuceritakan padamu beberapa cerita yang memuakkan, yang terjadi di kampus kita ini. Barangkali suatu saat kau bisa menuliskan cerita ini untuk banyak orang, agar mereka semua mengerti keadaan sebenarnya kampus ini.”
Ia berbicara dengan wajah mengarah ke meja. Dan, aku akan mencoba menjadi seorang pendengar yang baik. Karena, ia pun berharap aku dapat menceritakan ceritanya pada orang lain, namun lewat tulisan. Maka dari itu, aku mesti menyimaknya baik-baik agar aku nantinya tidak keliru memahami ceritanya, sehingga cerita itu bisa sampai pada orang lain dengan baik.
“Soal dosen yang mengajar di kampus kita, kau tahu, apa yang sudah kudapat dari perkuliahan selama beberapa semester ini? Jawabannya, nihil. Ya, aku tidak banyak mendapatkan ilmu dan pengetahuan dari ruang kelas. Akhirnya, kini aku benar-benar bosan dan muak dengan perkuliahan. Kau tahu salah satu penyebabnya?” Ia menanyaiku, dan tidak memperdulikan jawabanku, “Dosen, atau pengajar. Ya, itu. Selama beberapa semester ini, banyak kutemui dosen abal-abal. Dosen yang kurang bahkan tidak kredibel, tidak kompeten, tidak kompetitif, dan tidak profesional. Aku tahu pikiranmu, kita tidak bisa serta-merta menyalahkan dosen begitu saja, ‘kan? Aku tahu, kita tidak bisa menggantungkan semuanya pada dosen. Aku juga tahu, kita sudah bukan siswa lagi, kita sudah maha-nya siswa. Kita mesti mandiri. Kita mesti ini, mesti itu, dan bla-bla-bla. Shit! Aku tahu semua itu. Tapi, jika kau melihat polah dosen yang tidak mengerti cara mengajar, hanya membaca ulang apa yang terpantul dari proyektor. Atau, dosen yang senangnya datang terlambat, seenak perutnya sendiri, tidak disiplin. Atau juga dosen yang tidak menyiapkan dan memahami materi perkuliahan yang diajarkannya sendiri, dan akhirnya kebingungan dengan apa yang akan disampaikannya. Nah, apakah dosen-dosen semacam itu masih patut kita maklumi? Apakah dosen seperti itu masih pantas untuk tidak kita sebut sebagai dosen abal-abal? Hah?”
Aku diberondong pertanyaan, dan aku lagi-lagi harus menganggukan kepala, karena aku pun mengalami hal seperti apa yang dialaminya. Aku pernah diajar oleh salah satu dosen yang ciri-cirinya seperti yang telah dijabarkan oleh kawanku ini. Dosen itu seperti tidak mengerti apa yang diajarkannya, tidak paham apa yang dibicarakannya. Sayangnya, kawanku ini tidak menyebutkan nama dosennya. Dan, aku pun tidak menanyakannya lantaran aku segan untuk memotong pembicaraannya. Mungkin, dosen itu adalah dosen yang sama, mengajar kami berdua di kelas yang berbeda. Atau mungkin di kampus ini memang banyak dosen yang seperti itu? Entahlah. Aku tidak akan menyimpulkannya saat ini, karena aku perlu bukti. Dan, kawanku ini masih dengan ceritanya. Siapa tahu, aku dapat menarik kesimpulan ketika ia mengakhiri ceritanya.
“Aku heran dengan kampus kita ini, juga mahasiswanya. Aku heran dengan tindak-tanduk mahasiswa kita yang hanya berorientasi dengan sertifikat. Ya, aku banyak mendengar minat teman-temanku mengikuti seminar atau workshop yang di adakan di kampus kita. Kau tahu apa kata teman-temanku itu?”
Kali ini ia mengambil jeda agak lama. Mungkin, kali ini ia betul-betul mengharap jawabanku. Namun, perkiraanku ternyata keliru. Setelah ia menyeruput kopi dan menghisap Dji Sam Soe-nya, lalu ia melanjutkan kegeramannya,
“Minat teman-temanku begitu seragam. Ya, hampir seragam. Hampir semua temanku berpendapat, bahwa mereka mengikuti seminar dan workshop hanya untuk mendapatkan sertifikat, yang berkaitan dengan poinisasi. Coba pikir, hanya untuk sertifikat. Hanya demi poin. Selain tingkah mahasiswa kita yang menjadi penjilat sertifikat, banyak juga kutemui mahasiswa kita yang bungkam atas permasalahan di sekitarnya. Mahasiswa sekarang terlalu apatis, bahkan seperti bocah autis. Lihat saja, apakah mahasiswa kita suka berdemo? Tidak, bukan? Mahasiswa kita sekarang seperti tidak memiliki daya kritis. Otak mereka tumpul. Barangkali gara-gara terlena dengan gadget di tangannya.”
“Ya, ya, aku sudah lama sekali tidak melihat mahasiswa kita melakukan demonstrasi,” kali ini ia membiarkanku mengeluarkan suara.
“Kau masih ingat kan dengan kata-kata bahwa, mahasiswa adalah agent of change? Ya, kau pasti hafal dengan kalimat itu. Aku rasa, di kampus kita kalimat itu sudah musnah. Padahal dengan melihat jumlah organisasi di kampus kita ini, seharusnya ada banyak pula mahasiswa yang memiliki daya kritis terhadap kondisi di sekitarnya. Namun apa? Tiap organisasi sepertinya hanya menimbun anggota, hanya memperhitungkan kuantitas, bukan kualitas.
“Sekarang kau sudah tahu. Begitulah keadaannnya. Ya, kalau tahu begini persoalannya, aku kira, aku tidak sampai hati untuk kuliah. Ya, aku tidak perlu menjadi mahasiswa, apalagi seperti mahasiswa yang kerjaannya cuma: kuliah, pulang, tidur, makan, mandi, menggarap tugas, tidur lagi, dan kuliah lagi. Terus dan terus seperti itu. Aku heran, apa mereka tidak merasa bosan dengan rutinitas semacam itu? Ah, aku pun telah bosan bicara terus. Untuk saat ini, mungkin itu saja yang perlu kuceritakan padamu. Terimakasih telah mendengarkanku.”


Purwokerto, 2014

Comments

Populer Post

KEHIDUPAN DAN “PELAJARAN MENGARANG” DARI SANG PENGARANG

Isi Kepala Sapto*

Hidup Hanya Singgah untuk Memandang dan Mendengarkan

Menengok Adat Suku Sasak di Kampung Sade

Pembelaan yang Datang Terlambat