Redupnya Cahaya di Wajah Nurlaela*

oleh Wahyu Noerhadi

Dengan amarah yang berkobar, mata golok siap menyambar. Urat leher siap jadi sasaran. Jerit orang-orang pun membuat suasana kian menegangkan.
***

Perempuan berlesung pipit, bermata sipit, berambut ikal, dan bertubuh langsing itu adalah bibiku dari jalur ibu. Namanya Nurlaela. Mungkin maksudnya Nurlaila, yang dalam Bahasa Arab artinya cahaya malam. Namun, sepertinya, orang Sunda memang sudah terbiasa melafalkan “ai” menjadi “ae”. Ya, seolah-olah telah meniadakan hukum mad liin dalam ilmu tajwid. Seperti juga, orang Sunda kerap mengubah pengucapan kata atau kalimat yang mengandung huruf “f” menjadi huruf (hurup?) “p”. Tetapi, itu hanyalah masalah atau kebiasaan lidah. Bagaimana pun pengucapannya, mungkin maksud hati tidaklah lain. Buktinya, bibiku itu memang memiliki cahaya di wajahnya.
Nurlaela adalah anak bontot dari empat bersaudara. Dan, sejak umur 12 tahun ia sudah diitinggalkan kedua orang tuanya. Maka, sejak saat itu kebutuhannya ditanggung oleh Ayah dan kedua pamanku. Ade, panggilannya di keluarga, merampungkan pendidikannya hanya sampai pada SMA lantas menggantungkan hidup seperti jamaknya orang-orang di desaku: menjadi buruh pabrik di kawasan industri di belakang desa. Hampir, hampir setiap manusia di desaku lahir, tumbuh, dan beranak-pinak di situ-situ juga. Setiap kepala keluarganya memiliki profesi yang serupa, yakni buruh pabrik. Karena, di desaku, dengan hanya bermodal KTP dan ijazah SD, tiap orang bisa menjadi buruh di kawasan industri. Dan, pamanku, Mang Udin—seorang yang memiliki ijazah S1—juga pada akhirnya berprofesi sebagai satpam di salah satu pabrik di kawasan industri itu.
Sungguh, keadaan di tanah tempat kelahiranku kini telah berubah sedemikian rupa. Misalnya, dulu, jarak antara satu rumah dan rumah lainnya sekurang-kurangnya 10 meter. Kini, jarak itu benar-benar menciut menjadi hitungan satu-dua jengkal saja. Bagaimana tidak, tiap orang berlomba-lomba membangun kontrakan untuk ditempati para pendatang. Keadaan pun semakin berjubel dengan melihat jumlah pendatang yang akhirnya betah dan lebih memilih hidup di tempat yang sudah padat itu. Ditambah muda-mudi yang menikah dengan tetangganya sendiri; berkeluarga dan membesarkan anak di situ-itu juga. Setelah anak-anaknya dianggap mampu bekerja dan memiliki ijazah SD, lantas anak-anak itu pun masuk pabrik di belakang desa. Selanjutnya, mereka pun akan mengikuti jejak para orang tuanya: lahir, tumbuh, berkeluarga, dan membesarkan anaknya untuk menjadi buruh pabrik. Seakan-akan setiap anak yang lahir di desa itu memiliki nasib yang serupa: menjadi buruh pabrik. Dan, anak-anak itu kelak akan menularkan nasibnya pada anak-anaknya pula.
Sepertinya, sampai 100 tahun kemudian, kehidupan akan terus berputar seperti itu. Hingga akhirnya, mungkin, seluruh pabrik itu terbakar dan gulung tikar. Sungguh, saat ini, pabrik-pabrik terus tumbuh dan berkembang pesat. Beriringan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk di desaku. Ya, penduduk pribumi di desaku seperti kedatangan penjajah. Namun, bedanya, kedatangan penjajah di desaku itu disambut dan dirayakan dengan penuh kegembiraan.
Ah, maaf, aku malah melantur kesana-kemari. Padahal, aku hanya hendak menuturkan cerita tentang bibiku, Nurlaela. Kini, ia telah mempunyai anak: empat, dan laki-laki semua. Ia menikah setelah beberapa bulan pacaran dengan Mang Wawan: seorang buruh pabrik dari desa tetangga. Ya, Mang Wawan adalah pria yang beruntung. Ia dapat dengan leluasa menyentuh cahaya si bunga desa. Dan, akhirnya Wawan pulalah yang meredupkan cahaya di wajah Nurlaela.
Mang Wawan, Pria berambut keriting dan berperawakan jangkung itu sebenarnya paman yang menyenangkan. Ia sering mengantarku ke sekolah waktu SMP dan mengajakku jalan-jalan. Ia juga pria yang ramah dan suka membantu keluarga. Misalnya, ia rajin mengurusi pembayaran pajak sepeda motor ayahku dan Mang Udin. Ia memang paham betul mengurusi hal semacam itu.
Ya, Mang Wawan memang paman yang baik. Namun, pernah ada kabar yang kurang mengenakkan tentang perilakunya ketika ia masih bujang. Dan, kabar itu sempat menggoyahkan kepercayaan Ibu, Ayah, dan kedua pamanku untuk merestui pernikahan Bibi Ade dengannya. Namun, kabar itu hanya sembarang kabar. Dan, pernikahan tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Setelah beberapa tahun, aku dengar, kondisi keluarga Mang Wawan dan Bibi Ade mulai berubah. Mang Wawan dianggap terlalu banyak tingkah. Dan, ayahku selalu bersikap tenang dan menganggap seolah semuanya baik-baik saja. Beda lagi dengan Mang Udin. Ia selalu melemparkan senyum menyeringai ketika melihat Mang Wawan. Mungkin, sejauh cerita yang kudengar, Mang Udin merasa sakit hati atas pertolongan yang telah ditawarkannya kepada Mang Wawan, ketika adik iparnya itu tengah lontang-lantung lantaran dikeluarkan dari tempat kerjanya. Entah karena apa, pada hari ke-5 ia masuk kerja di pabrik tempat Mang Udin juga bekerja, Mang Wawan kembali diberhentikan dari pekerjaannya. Mungkin itu yang membuat Mang Udin selalu memiliki kecurigaan terhadap tindak-tanduk adik iparnya itu. Lebih-lebih, ketika mendengar bahwa BPKB mobil Mang Asep—anak ketiga setelah Mang Udin—digadaikan oleh Mang Wawan untuk keperluan entah apa. Juga ketika Mang Udin mendengar keluhan Bibi Ade soal pihak bank yang datang menagih utang Mang Wawan. Semua kabar itu membuat Mang Udin makin geram.
“Sudah, De. Tinggalkan saja si Wawan itu. Cari laki-laki lain yang mampu menghidupimu,” kata Mang Udin, ketika aku dan pamanku itu mengunjungi Bibi Ade di kontrakan, tempat tinggalnya bersama Mang Wawan dan keempat anaknya. Bibi Ade yang kurus kering, tengah menyuapi kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Sedang kedua anaknya yang lain, yang duduk di bangku kelas 1 dan 3 SD, tengah berebut remote control televisi. Dan, Mang Wawan memang sedang tidak di tempat.
“Tapi, Kang...”
Ya, Bibi Ade sepertinya tidak akan pernah mengindahkan saran kakaknya itu. Bibiku sudah kadung cinta, apa mau dikata. Katanya, Bibiku selalu berdoa agar suaminya mendapat kerja dan betah menjadi buruh pabrik. Namun, Mang Wawan sampai saat ini belum menerima atau menjemput doa istrinya itu. Ia masih saja mondar-mandir mengharap upah atas kerjanya mengurusi pembayaran pajak sepeda motor, dan kerja serabutan lainnya.
Mang Wawan menghidupi istri dan keempat anaknya hanya dengan upah yang tak seberapa. Pernah suatu waktu, ayahku menawari pekerjaan pada Mang Wawan untuk jadi tukang sampah di kawasan industri dengan gaji yang lumayan. Tapi, Mang Wawan menolak halus tawaran itu dan tetap memilih berkeluyuran ke tempat teman-temannya. Hingga akhirnya, Mang Wawan jadi jarang pulang, sampai satu-dua minggu bahkan satu bulan. Mendengar semua itu, Mang Udin semakin berang.
“Wan, kamu teh kenapa sih? Enggak kasihan sama anak-istri? Kamu pikir, kamu teh masih bujang, senangnya keluyuran. Kamu teh punya anak-istri yang kudu dinafkahi!”
Mang Udin geram, dan menggebrak pintu yang sudah terbuka. Ketika itu, Mang Wawan, Bibi Ade, dan keempat anaknya sedang ada di rumahku. Dan, tiap sore Mang Udin memang selalu mampir ke rumahku.
“Kalau aku enggak kasihan sama si Ade, udah kuhajar mukamu itu Wan! Kamu lihat,” lanjut Mang Udin seraya menunjuk ke arah Bibi Ade dengan dagunya, “istri kurus kering, anak enggak keurus. Apa kelakuanmu bakal seperti itu terus?”
Melihat kemarahan Mang Udin, aku sedikit merinding. Mang Wawan diam ketakutan. Sedangkan bibiku dan anaknya yang kecil-kecil menjerit-jerit serta menanggis histeris. Bagaimana tidak, Mang Udin bicara dengan mengacungkan pentungan.
“Dari awal, aku memang tidak merestui hubunganmu dengan si Ade. Aku sama sekali tidak merestui pernikahanmu dengan adikku. Aku tahu, jodoh itu urusan Allah. Tapi aku sebenarnya tidak setuju jika adikku harus hidup dan berkeluarga denganmu. Jika kamu sudah tidak mampu lagi memberinya nafkah, ceraikan saja adikku!”
Pentungan yang digenggam Mang Udin hampir mendarat di kepala Mang Wawan jika saja ayahku tidak mampu menahan dan menarik tubuh adiknya itu.
“Sudah, Din. Enggak enak sama tetangga.” Ujar ayahku menenangkan suasana. Namun, bibiku dan anak-anaknya masih saja menjerit dan menangis. Dan, para tetangga memang menyaksikan kejadian itu.
Setelah lima belas menit berselang dan api di dada Mang Udin padam, keadaan mulai tenang. Bibiku dan anak-anaknya hanya menangis sesenggukan. Para tetangga pun masuk kembali ke dalam rumahnya, dengan raut muka yang seolah tak terjadi apa-apa. Tapi, aku tahu, di dalam rumah, mereka akan memperbincangkannya. Mang Udin pun hendak pulang ke rumahnya.
“Awas kamu Wawan kalau sampai benar-benar menyakiti hati si Ade!”
Mang Udin kembali mengingatkan, dengan mengacungkan pentungan ke arahnya Mang Wawan. Lantas, Mang Udin berlalu menunggangi sepeda motornya. Mang Wawan, Bibi Ade, dan keempat anaknya juga kembali ke kontrakannya. Sebelum mereka pulang, ayahku berpesan:
“Wan, maafkan kelakuan Kang Udin tadi. Mungkin, dia kecapaian. Dia hanya kasihan melihat kamu dan keluargamu. Carilah pekerjaan, Wan!”
“Iya, Kang,” ucap Mang Wawan.
Beberapa bulan setelah peristiwa itu, aku dengar kabar bahwa kehidupan Mang Wawan dan keluarganya masih seperti itu-itu juga. Bahkan, mereka hendak diusir oleh si empunya kontrakan, lantaran selama setengah tahun belum bayar sewa kontrakan. Namun, Mang Udin dan Mang Asep keburu membayarnya. Juga sangkutan Mang Wawan dengan bank, telah diatasi mereka berdua.
Aku juga dengar kabar, anaknya Bibi Ade yang paling kecil sering sekali sakit-sakitan. Anaknya yang kedua, yang masih kelas 1 SD, sudah tidak mau sekolah lagi karena tidak pernah diberi uang jajan. Mang Wawan pun tambah jarang pulang, bisa sampai satu setengah bulan ia tidak pulang. Dan, ketika Bibi Ade melahirkan putra yang kelima, Mang Wawan masih belum juga pulang. Tiap kali kami berkunjung ke kontrakan, kami memang tidak pernah sekali pun melihatnya. Suatu kali, Ayah dan Ibuku bertanya kepada orang tua Mang Wawan. Dan, orang tuanya pun tidak mengetahui keberadaan Mang Wawan.
***

Sore hari di bulan Juli, langit begitu sengit. Mata petir dan aroma tanah merah yang basah menguap dan mengabarkan kepiluan. Di beranda, aku memandangi hujan. Dan, dari kejauhan kulihat Bibi Ade tengah berjalan tergopoh-gopoh ke arah rumahku. Dengan air muka yang tak kumengerti, Bibi Ade melewatiku begitu saja dan langsung masuk ke rumah. Aku heran dan hanya mampu mengikuti geraknya dengan mata.
“Teteh, si Wawan nikah lagi. Tadi Ade lihat si Wawan dengan perempuan lain sedang berpelukan di kamar, di rumah orang tua si Wawan.” Ucap Bi Ade sambil menangis di pelukkan ibuku.
Astagfirullah, yang benar De?”
“Iya, Teh. si Wawan dan orang tuanya sendiri yang bilang ke Ade kalau mereka memang sudah menikah dua bulan yang lalu.”
Ibuku pun akhirnya menangis sembari mengelus-ngelus rambut Bibi Ade yang basah. Mendengar itu, ayahku cepat saja menghubungi Mang Udin, untuk mendatangi Mang Wawan di rumah orang tuanya. Setelah menunggu 10 menit, Mang Udin pun tiba. Tanpa kata, Ayah dan Mang Udin langsung pergi. Sayangnya, ayahku tidak mengetahui bahwa Mang Udin telah menyelipkan golok di balik jaketnya.


Bogor, 2012 – Tanjungpinang, 2014
*Termaktub dalam antologi cerpen Misteri Jodoh


Comments

Populer Post

KEHIDUPAN DAN “PELAJARAN MENGARANG” DARI SANG PENGARANG

Isi Kepala Sapto*

Hidup Hanya Singgah untuk Memandang dan Mendengarkan

Menengok Adat Suku Sasak di Kampung Sade

Pembelaan yang Datang Terlambat