Rahasia Lusi*


Oleh: Wahyu Noerhadi

Pada Jumat malam, di minggu ketiga bulan Mei, ia belum juga mampu menekan satu tombol pun di keyboard komputernya. Sampai beberapa menit, halaman di layar komputer itu masih cukup bersih. Di halaman itu hanya ada satu nama, yang mungkin akan dijadikan sebagai judul karangannya: LUSI.
***

Lusi tiba di rumahnya sore hari. Biasanya ia tak pernah pulang terlambat. Lambat-lambatnya jam satu siang sudah tiba di rumah. Tapi, di sepanjang jalan dari sekolah ke rumahnya yang berjarak sekitar 500 meter, ia diikuti oleh seorang lelaki yang tak ia kenal. Makanya ia memilih jalan memutar untuk sampai ke rumahnya, dengan maksud mengecoh lelaki itu. Ia terus berjalan menunduk. Setibanya di depan rumah, sekilas ia melirik ke belakang. Dan, lelaki itu melemparkan senyum padanya. Cepat-cepat Lusi membuka lantas membanting pintu rumahnya dengan keras. Sampai-sampai lelaki itu pun kaget.
Esoknya, ketika Lusi hendak berangkat sekolah, lelaki itu sudah berdiri di seberang jalan. Lusi menatap tajam mata lelaki itu. Lelaki itu kembali tersenyum padanya. Wajah Lusi tampak ketakutan. Ia berjalan setengah berlari, dan lelaki itu masih membuntuti. Sesampainya di gerbang sekolah, Lusi berhenti dan memberanikan diri,
“Paman mau apa? Kenapa Paman mengikutiku terus?” Ucap Lusi dengan bibir sedikit bergetar.
“Jangan takut, Paman hanya ingin menngenalmu. Paman tidak akan berbuat jahat,” jawab Lelaki itu dan mendekat ke arah Lusi.
Lusi melangkah mundur. Satu-dua siswa melewati gerbang sambil memandanginya. Kemudian, Lusi memasuki gerbang dan meninggalkan lelaki itu. Lusi tampak kesal padanya. Di jam istirahat, Lusi pun tidak meninggalkan kelas. Ia mungkin mengira kalau-kalau lelaki itu masih ada di luar gerbang.
“Pagi tadi kau bicara dengan siapa?” Tanya seorang kawan di meja sebelahnya.
Hoo,” ia terkejut mendengar suara kawannya, “Bukan siapa-siapa.” Jawabnya.
Bel pulang sekolah pun berbunyi. Anak-anak kelas 1, 2, dan 3 berhamburan dari kelasnya masing-masing. Ada yang segera menyerbu jajanan, ada yang beli mainan, dan ada juga yang langsung pulang. Satu setengah jam kemudian, bel berbunyi lagi. Anak-anak kelas 4, 5, dan 6 keluar dengan lebih tertib. Di luar gerbang, lelaki itu mencari-cari seseorang. Ketika Lusi terlihat sedang berjalan menuju gerbang, Lelaki itu pun tersenyum. Lusi berjalan paling belakang, menunduk, dan selalu sendirian.
“Adik Paman juga kelas lima. Sama kayak Lusi,” lelaki itu membarengi langkah Lusi, “Lusi masih takut pada Paman? Baiklah, jika Paman berbuat macam-macam, Lusi boleh laporkan Paman pada ayah Lusi, atau ke ibu guru. Atau, bapak polisi itu.” Lelaki itu mengarahkan telunjuknya ke seorang polisi yang sedang mengatur lalu lintas.
“Aku tidak suka melapor.” Lusi menjawabnya dengan sedikit ketus, “Tapi aku akan berteriak jika Paman membuatku takut.”
“Berarti sekarang Lusi sudah tidak takut?”
Lusi tidak menjawabnya. Lusi menghentikan langkahnya kemudian menatap wajah lelaki itu dengan berani. Lelaki itu lagi-lagi tersenyum, dan sepertinya senang mengetahui bahwa Lusi sudah tidak takut lagi kepadanya.
“Lusi mirip sekali dengan adik Paman.”
“Apakah dia aneh juga?”
“Aneh? Aneh bagaimana?” Lelaki itu terlihat heran.
Mereka berdua telah sampai di depan rumah Lusi. Rumah yang warna biru lautnya itu sedikit pudar dan mengelupas di beberapa tempat. Terutama di tembok bagian kanan. Bagian itu memang selalu terkena sinar matahari tiap sorenya. Dan pohon-pohon pun, seperti pohon mangga dan jambu biji hanya ada di sebelah kiri rumah. Jadi, tidak bisa barang sedikit meneduhi tembok sebelah kanan, yang akhirnya dipenuhi coretan-coretan dari krayon. Coretan itu bergaris-garis dan berwarna-warni. Persis seperti labirin.
“Sepertinya, Paman memang tidak jahat. Paman mau masuk?”
“Ya, boleh.”
“Kebetulan, ayahku juga sedang tidak di rumah,” Lusi berkata sambil mendorong pintu yang terlihat berat itu.
“Ke mana memang?”
“Aku tidak perlu tahu dia ke mana, dan aku juga tidak suka dia di rumah.”
“Lusi tak boleh begitu pada Ayah.”
“Dia juga harusnya tak boleh memukuliku.”
***

Suatu malam, seperti juga malam-malam sebelumnya, Lusi begitu kedinginan. Tubuhnya meringkuk dan terbungkus rapi oleh selimut. Ia juga mengenakan sarung tangan dan sepatu bot milik ayahnya. Berkali-kali ia menguap tapi matanya tetap saja terbuka, menatap lampu di langit-langit kamarnya. Ya, sepanjang malam, ia tak pernah mematikan lampu kamarnya. Dan ibunya pun pernah berpesan, “Jika kau merasa takut, maka jangan pernah matikan lampu kamarmu.” Ibunya berkata sambil mengelus rambut Lusi yang ikal dan panjang.
Malam itu gigi-gigi Lusi bergemelutuk, dan wajahnya tampak begitu ketakutan. Ketika ia hendak menarik selimut untuk menutupi wajahnya, tiba-tiba saja ia berteriak,
Aaaaaaa... Jangan, jangan bawa aku,” tubuhnya bergerak ke sana-sini, “Tidak, tidak... Aku tidak mau pergi denganmu.”
Daaar... Ayah Lusi mendobrak kamar, “Hey... Diam! Ini sudah tengah malam,” ayahnya memelototi dan tangannya sudah mencengkeram mulut Lusi, “Kalau kau tak bisa diam nanti kurobek mulutmu. Mengerti kau?”
Lusi hanya mengangguk-angguk. Matanya berkaca-kaca.
“Dasar, anak aneh!” Pungkas ayahnya setelah mengeplak kepala Lusi.
Setelah malam itu, setelah ibunya tiada dan ayahnya makin rajin memukulinya, ia tak pernah lagi berteriak. Ketika ketakutan, Lusi akan langsung menjejali mulutnya dengan selimut, atau ia akan menggigit tangannya sendiri.
***

Hari-hari berikutnya, tiap pagi hingga sore, mereka selalu bersama. Kecuali jika Lusi berada di ruang kelas atau di kamar mandi. Lusi dan lelaki itu memang terlihat makin akrab. “Sekarang adik Paman ada di mana? Paman tak pernah menemuinya?” Lusi mengawali perbincangan.
Lelaki itu tak langsung menjawab. Ia melihat wajah Lusi, “Sejak kecelakaan itu, Paman tak pernah lagi melihatnya. Waktu itu, dia masih kelas lima. Sama seperti Lusi sekarang. Dia juga cantik, seperti Lusi. Adik paman bercita-cita menjadi seorang pilot. Katanya, dia ingin mengajak Paman berkemah di bulan. Sebab, katanya, bumi ini panas. Dan dia memang sering merasa kepanasan. Kalau tidur dia tak pernah mau mengenakan baju. Apalagi selimut. Dia hanya ingin memakai kaos dalam. Di sekolah, dia pintar dan punya banyak teman. Lusi juga punya banyak teman ‘kan?” Lelaki itu meminta jawaban pada Lusi yang malah diam dan menunduk.
Lelaki itu pun melanjutkan, “Paman masih ingat permintaan terakhirnya. Dia minta Paman menuliskan serta membacakan cerita tentangnya. Dan sampai sekarang Paman tidak bisa membacakan cerita itu pada adik Paman, meski ceritanya sudah selesai Paman tuliskan. Sore itu, waktu Paman berlibur bersama ayah, ibu juga adik Paman, Tuhan mengambilnya terlebih dahulu,” Lelaki itu mengelap air di sudut matanya. Lama ia mengambil jeda, “Kini Adik, Ayah dan Ibu Paman mungkin berada di surga.”
“Diam, Paman. Kita jangan bergerak dan pura-pura tidak melihat mereka,” tiba-tiba Lusi menghentikan langkahnya dan langkah lelaki itu.
“Mereka siapa, Lusi?” Wajah lelaki itu kebingungan.
Lusi memandangi lelaki itu dan meletakkan telunjuknya di bibir. Mereka pun mematung di depan bangunan tua. Setelah sekitar 15 menit mereka berdiam diri, akhirnya mereka melanjutkan perjalanan.
“Paman mampir, ‘kan? Aku ingin menceritakan rahasiaku pada Paman. Kuharap Paman mau mendengarkan. Mungkin suatu saat Paman bisa menuliskannya.”
Sore itu, ayah Lusi memang sedang tidak di rumah. Bibi pembantu pun sudah pulang. Ibunya, sudah meninggal. Di luar langit gelap, dan gerimis pun berjatuhan. Dua burung yang nangkring di kabel listrik akhirnya terbang, kembali ke sarang.
Di atas sofa coklat itu mereka duduk. Dan Lusi mulai bercerita,
“Paman tahu, aku bisa melihat hantu-hantu?” Lusi menoleh ke arah lelaki itu. Dan, tanpa menghiraukan keheranan lelaki itu, Lusi melanjutkan, “Mereka, yang tadi kulihat di gedung tua itu adalah hantu-hantu penasaran. Mereka minta pertolongan. Tapi, melihat wajahnya saja aku tidak berani, mana mungkin aku menolong mereka. Di daerah tempat nenekku tinggal, aku juga pernah menjumpai hantu-hantu yang sangat mengerikan. Hantu-hantu itu berteriak-teriak minta tolong. Hantu-hantu itu mengatakan bahwa mereka dibunuh oleh saudaranya sendiri. Kebanyakan dari mereka dibunuh dengan cara disembelih. Kemudian, orang-orang menguliti dan membuang mayatnya ke sungai. Mereka dibunuh pada tahun seribu sembilan ratus enam puluh lima,”
“Dari mana Lusi tahu cerita itu?” Tanya lelaki itu heran.
“Para hantu sering bercerita kepadaku, Paman. Makanya, aku tahu semua hal yang tidak diketahui orang-orang dewasa. Dan orang dewasa pun kadang tidak tahu apa-apa. Aku tidak suka menjadi dewasa,” Wajah Lusi tampak kesal, kemudian menunduk, “Tapi, gara-gara aku sering bicara dengan hantu-hantu, semua orang menganggapku aneh. Teman-teman di sekolah, juga ibu guruku memanggilku ‘bocah aneh’. Karena mereka pikir, aku sering bicara sendiri. Oh, apakah Paman tahu kalau hantu-hantu ternyata tidak bisa melihat satu sama lain? Kata salah satu hantu yang ada di rumah ini, para hantu melihat apa yang ingin mereka lihat,” Lusi menahan ceritanya dan lelaki itu terkejut.
“Benarkah Lusi?”
“Paman juga harus tahu, hantu-hantu kebanyakan tidak sadar kalau dirinya sudah mati.”
***


Pada Jumat malam, di minggu ketiga bulan Mei, ia belum juga mampu menekan satu tombol pun di keyboard komputernya. Sampai beberapa menit, halaman di layar komputer itu masih cukup bersih. Di halaman itu hanya ada satu nama, yang mungkin akan dijadikan sebagai judul tulisannya: LUSI. Setelah beberapa menit itu, tiba-tiba kepalanya begitu pening. Lelaki itu teringat pada perkataan terakhir Lusi sore itu. Lelaki itu tersungkur dan sadar bahwa dalam kecelakaan itu ia juga ikut mati bersama ayah, ibu, dan adiknya.

Purwokerto, 2015

*Cerita ini terinspirasi dari film The Sixth Sense (1999). Dimuat di omahaksoro.com

Comments

Populer Post

KEHIDUPAN DAN “PELAJARAN MENGARANG” DARI SANG PENGARANG

Isi Kepala Sapto*

Hidup Hanya Singgah untuk Memandang dan Mendengarkan

Menengok Adat Suku Sasak di Kampung Sade

Pembelaan yang Datang Terlambat