Bukan Membanding-bandingkan*
Bukan, bukan membanding-bandingkan. Hanya saja ini perkara
selera. Lha gimana, wong itu yang sa rasa. Dan ini sekadar pembacaan orang awam
saja.
Jadi gini, semula sa pilih buku yang berjejer di atas
lemari. Tidak banyak. Buku-buku yang sudah dibaca dan yang sudah dibeli namun
tak kunjung sa baca. Ya, manusia kan banyak alasan; alasan waktu, nanti deh,
belum sempat, urusan kerjaan yang belum atau tak kunjung kelar, dan barangkali
memang takkan selesai. Ada saja, ada lagi, ada lagi. Selalu saja ada. Namun
setelah dipikir, sa ini kan bukan kolektor atau penimbun buku-buku. Sa punya
buku ya buat dibaca.
Buku-buku itu ada yang sa beli sendiri, ada yang dibelikan,
ada pula hadiah dari penulisnya, ada juga pemberian atau hibah dari saudara,
tepatnya kakak sepupu dari istri. Yang terakhir itu sa mau cerita sedikit.
Ya, sa mengincar beberapa koleksi buku yang dimiliki kakak
sepupu dari istri. Mas Yudi namanya. Buku-bukunya bagus dan ori. Versi asli,
bukan bajakan. Lha wong katanya Mas Yudi ini orang hukum dan pegiat HaKI, ya
masa menipu atau membodohi diri sendiri dengan beli barang yang bukan ori.
Seperti sa bilang di atas, bukunya bagus-bagus, mulai dari
karyanya Umar Kayam, Kuntowijoyo, Budi Darma, STA, Cak Nun, hingga karya para penulis
luar macam Gabo, Umberto Eco, Hemingway, dan banyak lagi. Nanti coba sa lihat
lagi nama-namanya. Nama mereka ada di kepala, tapi kerap lenyap begitu saja
ketika hendak mengingatnya. Sudah kayak di film Memento saja. Haha
Banyak karya-karya masterpiece dari para penulis itu. Tapi
awalnya, buku-buku itu hanya tersimpan, bertengger saja di rak buku di rumah
mertua. Katanya, punya Mas Yudi. Nitip entah gimana. Sudah lama. Dan daripada
cuma nganggur di situ-situ saja, akhirnya sebagian buku kami bawa ke Jakarta,
dengan izin ke ibu mertua. Istri sendiri yang izin. Dan tentu izin juga ke empunya
buku-buku itu, Mas Yudi. Kata Mas Yudi boleh dibawa, boleh diapain aja, namun
dia pesan beberapa buku yang masih ingin dimilikinya. Sisanya, masih banyak
buku bagus yang bisa kami bawa. Nasib buku-buku bergantung pada kami, atau
istri tepatnya.
Istri sa semacam melelang gratis buku-buku itu untuk
kawan-kawannya, via Instagram. Tentu banyak yang tertarik. Saya agak kesal lantaran buku-buku bagus itu dikasihkan begitu saja pada orang-orang, pada
temannya atau teman kami. Teramat sayang rasanya. Bagaimana pun, menurut sa itu
barang berharga, banyak buku-buku lama. Dan ori pula. Tapi gimana, wong Mas
Yudi itu adalah sepupunya, jadi sang istri tampaknya lebih berhak atas buku-buku
itu ketimbang sa pribadi. Haha
Tapi ya lucu juga ketika istri bertanya, buku sebanyak ini
bakal dibaca? Lalu sa cuma cengangas-cengenges saja. Ya sa pikir dan mbatin,
ini kan bisa untuk koleksi atau bahan pamer saja pada kawan, atau kelak pada
anak. Tapi kembali juga pada awal, sa atau kami ini bukan kolektor, atau
mungkin belum. Jadi intinya buku itu harus dibaca. Kami sepakat.
Jadi begitulah, banyak buku yang diberikan begitu saja pada kawan-kawan, meskipun cukup banyak juga buku yang diizinkan oleh istri untuk sa miliki. Aku tentu memilah-milahnya dengan cukup sulit, khususnya buku-buku masterpiece karangan para sastrawan di atas itu. Sa membatin, buku-buku bagus yang sa pilih tak boleh jadi hak milik orang lain begitu saja. Baik yang pernah sa baca maupun belum sempat. Itu buku harus tetap ada di atas lemari.
Oke, soal membanding-bandingkan, sesuai judul catatan ini,
awalnya saya asal ambil saja satu buku. Saya dapati kumpulan cerpen Umar Kayam, Seribu
Kunang-kunang di Manhattan (Grafiti, 2003). Baru saja sa hitung, ada 7
cerpen yang sudah sa baca, berurutan dari cerpen pertama sampai ketujuh. Sampai
di sini, sa mau jujur. Kira-kira sampai cerpen kelima “Chief Sitting Bull” atau
keenam “There Goes Tatum”, sa mulai merasa bosan. Sa kemudian mencoba lagi baca
cerpen ketujuh “Musim Gugur Kembali di Connecticut”. Hasilnya sama: masih
bosan.
Walakin, menurut Goenawan Mohamad, di cover belakang buku,
cerita yang disusun Pak Kayam itu hemat tapi efektif, dan bisa menahan kita
buat terus membacanya. Lalu kata Arief Budiman, cerpen Pak Kayam ini memberikan
sesuatu yang samar, kadang sebagai wajah kesenduan, kadang wajah kemesraan. Pak
Jakob Sumardjo juga menuliskan komentar bahwa lewat cerpen Pak Kayam, pembaca
dibawa hanyut, kena 'mantera' kekuatan berceritanya. Sebab itu pula, menurut
Pak Jakob, faktor yang paling menonjol dalam cerpen Pak Kayam adalah atmosfer
atau suasana ceritanya, dengan bangunan suasana yang halus, lembut penuh
nuansa. Terakhir, Wildan Kayim memberikan komentar kalau Pak Kayam menulis
lancar, lincah, dan kocak. Jalan ceritanya suka membuat flashback...
Secara umum dan awam, sa sependapat dengan empat komentator
itu. Tapi tidak sepenuhnya. Sa sepakat soal hematnya Pak Kayam dalam menulis
cerita, wajah kesenduan dan kemesraan, suasana ceritanya yang halus dan lembut,
dan membikin atau membawa si pembaca ikut hanyut pada flashback yang
dibangun Pak Kayam.
Perihal lain soal bertahan untuk terus membacanya, dan
kelincahan serta kekocakan penulisan, sa tidak atau kurang sependapat. Sekali
lagi ini pendapat, pembacaan orang awam saja. Siapa pula sa mendebat pendapat para ahli itu.
Kenapa sa berkata atau punya pendapat demikian? Semula sa
bosan saja, dan tampak kesusahan mengikuti suasana yang jauh di sana, seperti
Manhattan, Connecticut, atau kebiasaan orang-orang di sana, dan nama-namanya
pula, sungguh asing; Madame Schlitz, Sybil. Mana ada orang Indonesia punya nama
Sybil? Kata istri, cuma satu: panggilan anaknya Hanung dan Zaskia. Tentu ini masalah sa pribadi yang belum punya pengalaman hidup, mengenal
dan mengetahui kebiasaan orang-orang di Amrik sana, maka itu mungkin sa merasa
bosan, karena latar ceritanya yang jauh. Itu mungkin salah satu sebabnya. Jika
di lain waktu sa punya kesempatan buat hidup atau tinggal di sana beberapa
waktu, mungkin pengalaman sa membaca cerpen-cerpen Pak Kayam bakal berbeda.
Dan, baru 7 cerpen yang sa baca. Ke depan mungkin akan sa baca lagi cerita
lainnya dari Pak Kayam.
Selain itu, sa berpendapat demikian karena usai
cerpen-cerpen Pak Kayam, sa coba membaca kumpulan cerpennya Paman Yusi Avianto
Pareanom yang berjudul Rumah Kopi Singa Tertawa (Banana Books, 2011),
yang cukup lama sa beli tapi belum sa baca. Sa coba membacanya, semacam cara
mengalihkan kebosanan saja.
Setelah sa hitung-hitung, ternyata sama kayak kumpulan
cerpen Pak Kayam, sa juga baru menyelesaikan 7 cerpen dari Paman Yusi. Semula
enam, tapi biar imbang, sa baca juga satu cerpen lagi. Biar sama-sama 7.
Katanya, Tuhan menyenangi angka-angka ganjil.
Sebetulnya, belum sampai cerpen ketujuh, sa sudah mendapati
perbedaan model dan suasana cerpen-cerpen yang dibangun Pak Kayam dengan
cerpen-cerpen dari Paman Yusi. Ya, beda saja. Dan sa tidak merasa bosan. Sejak
cerpen pertama selesai, sa ingin tahu isi dari cerpen kedua dan selanjutnya dan
selanjutnya. Sampai di sini, sa bilang lagi, ini mungkin perkara selera.
Sisanya, silakan kawan-kawan barangkali ada waktu untuk membedakan. Atau mungkin ada yang berpendapat, itu tidak apple to apple, tidak mendoan to mendoan kalau kata kawan.
Menurut sa, ya memang beda. Beda penulis, beda gaya, beda
zaman, beda metode penulisan mungkin juga. Yang jelas beda latar dan beda
tingkat kekocakannya. Lihat saja dari judul-judulnya, (1) Cara-cara Mati yang
Kurang Aduhai; (2) Dosa Besar No. 14; (3) Sebelum Peluncuran; (4) Edelweiss
Melayat ke Ciputat; (5) Rumah Kopi Singa Tertawa; (6) Tiga Lelaki dan Seekor
Anjing yang Berlari; (7) Telur Rebus dan Kulit Kasim. Ada pula judul “Rumah
Kopi Singa Tertawa 2.0”. Apa pula judul begitu. Kenapa bisa dan kepikiran bikin
judul seperti itu. Kan gila. Bukan, bukan saja dari judul-judulnya saja yang
menggelitik sekaligus memesona—setidaknya bagi sa sebagai pembaca awam—tetapi isinya
juga gila, kocak, dan penuh kejutan. Betah betah saja saya menuntaskannya.
Ya, seperti ditulis di halaman belakang buku, lewat Rumah
Kopi Singa Tertawa mungkin kita akan tertawa-tawa, sedih, dan tergoda ikut
bersama Paman Yusi mengopyok berbagai khazanah kebudayaan dunia dan
menjadikannya kegilaan baru. Ya, memang kocak dan gila. Dan tidak sekadar itu.
Oh iya, selain perkara selera, mungkin juga soal usia. Usia
muda sa mungkin masih suka cerita-cerita seperti yang dituliskan Paman Yusi,
mungkin di waktu mendatang sa bisa lebih menyukai cerita dari Pak Kayam. Banyak
kemungkinan. Dan tadi, baru 7 cerita yang sa baca dari masing-masing penulis.
Dan itu baru satu kumpulan cerpen, belum novel dan cerpen lainnya. Tapi di
akhir catatan ini, bisa sa katakan, tampaknya sa bakal merampungkan terlebih dulu
Rumah Kopi Singa Tertawa.
Comments