Tara Basro dan Dampak Komodifikasi Media

Sumber gambar: instagram.com/tarabasro

Standar kecantikan ideal yang dikonstruksi—sekaligus dieksploitasi—oleh media itu tidak lain adalah bentuk komodifikasi. Prinsip komodifikasi diartikan sebagai proses transformasi nilai guna jadi nilai tukar. Vincent Mosco (1996) menyebut, komodifikasi ini sebagai kegiatan produksi dan distribusi komoditas yang lebih mempertimbangkan daya tarik, agar banyak dipuja oleh orang dibandingkan dengan fungsinya sendiri sebagai barang dagangan.

Satu contoh yang jamak dimafhumi, wanita ideal selalu dicitrakan berkulit putih atau kuning langsat, tinggi dan berbodi bak top model yang berlenggang di arena catwalk. Orang kita biasanya menyebut wanita dengan ciri-ciri di atas dengan akronim yang mengarah kepada nama burung kecil berbunyi nyaring: Kutilang (kuning, tinggi, langsing).

Tentu sudah sejak lama konstruksi itu berjalan. Ya, kita tahu, pada akhirnya konstruksi dan komodifikasi media adalah strategi dalam bisnis-industri semata.

Dalam perjalanannya, industri media sendiri yang menciptakan standar wanita ideal, yang kemudian standar itu didistribusikan kepada khalayak, lewat tayangan televisi, foto model di majalah, obrolan penyiar di radio, dan seterusnya.

Dampaknya, kita tahu sendiri, tidak sedikit wanita yang mati-matian atau setengah mati ingin mengikuti standar yang disuguhkan media itu. Tentu, tiap manusia punya isi kepala dan kehendak masing-masing. Maka itu, di sini saya bukan hendak mengatakan, berceramah, bahkan melarang siapa pun untuk tidak mengikuti standar yang ditetapkan media soal idealnya wanita. Siapa saya? Dan, seperti saya katakan di atas, tiap pribadi punya batok kepala sendiri-sendiri. Saya hanya dongkol saja dengan tingkah-polah media yang membikin kita jadi masyarakat konsumtif; yang nrimo saja apa yang disuguhkan media.

Berbarengan dengan itu, muncul pula fenomena beauty privilege di tengah masyarakat kita terhadap wanita yang dianggap ideal oleh media. Ditambah dengan adanya media sosial yang tak henti-henti membombardir kita dengan jutaan konten. Di antaranya konten soal kecantikan dan keglamoran, yang kemudian memunculkan kelompok wanita high class dalam ruang media sosial. Fenomena ini jika dilanjutkan terus-menerus akan menjadikan kelompok wanita ini merasa high demand.

Beauty privilege ini seperti pisau bermata dua; di satu sisi kadang menjadi baik dan memudahkan wanita dalam menggapai karir atau dalam mencari pekerjaan, misalnya. Privilege itu kerap diberikan secara cuma-cuma oleh perusahaan yang memang membutuhkan wanita ideal. Bahkan di ruang media sosial, seorang influencer dengan segala beauty privilege-nya serta memiliki 1 juta followers, lebih bisa dengan mudah mendapat endorsement dari berbagai perusahaan, dibanding mereka yang tidak mendapat predikat beauty privilege.

Sisi lain, predikat beauty privilege juga bisa membuat kemandekan berpikir, karena saking gampangnya meraih sesuatu yang diinginkan, sehingga kadang akan sangat sulit untuk meraih sesuatu dengan memulai proses dari bawah. Muncul kemudian cara-cara instan dan pikiran-pikiran instan pula; karena, yang-instan adalah koentji. Mungkin begitu.

Akibat komodifikasi media serta bombardir konten soal beauty privilege, akhirnya muncul juga perkara body shaming terhadap mereka yang liyan secara warna kulit, bentuk tubuh, dan hal fisik lainnya. Perkara itu ternyata mendapat tempat, baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Hal ini menjadi dilema di tengah masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, dan mengganggu kesadaran publik kita akhir-akhir ini, khususnya di ruang media sosial.

Akibat selanjutnya banyak dari kita akhirnya lupa akan arti penting menjadi diri sendiri; percaya diri atas anugerah hidup dan tubuh yang dimiliki. Tidak sedikit wanita yang mengejar standar paras ayu dan putih ideal itu dengan Oplas, berlomba-lomba mencapai bentuk tubuh ideal dengan diet ketat—yang kadang untuk meraih semua itu, mohon maaf, karena ada selubung insecurity di dalam diri.

Tulisan ini bermuara pada satu topik yang kemarin (Rabu, 4 Maret 2020) sempat ramai di jagat media sosial, yaitu soal unggahan foto di akun Twitter dan Instagram Tara Basro. Dari foto berikut caption yang diunggah itu, saya hakul yakin, Tara Basro tengah melawan stereotip standar kecantikan berupa beauty privilege sekaligus menghajar perkara body shaming, yang memang masih dan sering terjadi di tengah masyarakat kita hari ini. Saya tidak melihat unggahan Tara Basro di media sosialnya seperti yang disebut Kominfo sebagai bentuk ketelanjangan. Saya pribadi melihatnya sebagai pesan yang kuat dari dalam diri Tara Basro dalam upaya untuk menjungkirbalikkan tatanan mapan selama ini. Dan, dalam hal ini dia layak untuk dibela; suaru-suara itu harus tetap ada, khususnya di media sosial yang acapkali menjadi wadah body shaming.

Penulis: Erik Ardiyanto

Penyunting: Wahyu Noerhadi

Comments

Populer Post

KEHIDUPAN DAN “PELAJARAN MENGARANG” DARI SANG PENGARANG

Isi Kepala Sapto*

Hidup Hanya Singgah untuk Memandang dan Mendengarkan

Menengok Adat Suku Sasak di Kampung Sade

Pembelaan yang Datang Terlambat