Harakah An-Nahdliyyah li Az-Zakah*
Oleh: Ma'ruf Amin**
"Berzakatlah kalian seperti shalat, puasa, haji karena
itu kewajiban."
Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu
Asaakir, dari Jabir bin Abdillah RA, dari Rasulullah SAW, Allah
berfirman, “Inna hadza diinun irtadloituhu linafsi, lan yushlihahu
illaa as-sakhoo-u wa husnul khuluq, fa akrimuuhu bihima maa
shohibtumuuhumaa." (Inilah agama yang Aku ridhai untuk diri-Ku.
Tidak ada yang mampu membuatnya bagus, kecuali kedermawanan dan akhlak yang
bagus. Karena itu, muliakanlah agama ini dengan yang dua itu selama kamu
melestarikannya).
Mengapa kedermawanan? Sebab harta adalah titipan Allah.
Titipan itu bisa benar-benar menjadi anugerah kalau manfaatnya mampu menetes
kepada lingkungan. Bagi seorang mukmin, segala isi dunia ini, termasuk harta,
harus berfungsi ibadah.
Ibadah berarti infak. “Wa mimmaa rozaqnaahum
yunfiquun." (Dan sebagian dari yang Kami anugerahkan, mereka
infakkan: derma). Sungguh merugi, hartawan yang tidak dermawan. Rugi diri
sendiri, rugi pula masyarakatnya.
Dalam sebuah hadisnya, Rasulullah SAW bersabda bahwa di
antara 4 (empat) hal yang menentukan tegaknya dunia (masyarakat) adalah
dermawannya kaum berpunya, di samping ilmunya para ulama, hadirnya pemimpin
yang adil, dan doanya orang miskin.
Lebih lanjut, tujuan kerasulan Muhammad SAW adalah untuk
menyempurnakan akhlak. Sedangkan akhlak itu sendiri melayani dua matra: hablun
minallah (hubungan dengan Allah) dan hablun minan naas (hubungan
dengan sesama manusia).
Tidak dapat disebut berakhlak mulia kalau kedua matra itu tak
terlayani dengan sebaik-baiknya. Bukan akhlak mulia bila keshalihan ritual
tanpa dibarengi keshalihan sosial, atau sebaliknya. Sama halnya dengan khusyuk(merendahkan
diri di hadapan Allah), tak dapat dipisah dari tawadhu (berendah
hati di hadapan makhluk).
Zakat, infak dan sedekah sebagai bentuk keshalihan sosial
dan hablun minan naas, merupakan instrumen yang sangat penting
dalam pemberdayaan masyarakat. Sebab jika potensi zakat itu bisa tergali maka
pemberdayaan masyarakat akan besar dan bisa menghilangkan kemiskinan di
Indonesia.
Diperlukan upaya untuk terus menggali potensi zakat ini agar
bisa memberikan nilai tambah dan melakukan perubahan besar-besaran dalam
mengentaskan kemiskinan dengan cara yang sangat cepat. Jumlah masyarakat muslim
Indonesia yang banyak, menjadi sangat potensial untuk menjaring
sebanyak-banyaknya para calon muzaki.
Proses ini membutuhkan berbagai cara dan inovasi agar
penghimpunan zakat semakin intensif, karena penghimpunan dana zakat di
Indonesia masih jauh dari potensi yang sesungguhnya.
Orang yang belum berzakat, atau yang berzakat tapi tidak
melalui lembaga, bisa berzakat melalui lembaga zakat. Karena penyaluran zakat
melalui lembaga pembagiannya akan lebih selektif, tidak konsumtif, dan
pemberdayaannya sangat produktif.
Semoga potensi zakat ini bisa meningkatkan upaya-upaya
pemberdayaan masyarakat, sehingga nantinya zakat harus bisa mengubah seorang
muslim menjadi kuat. Mustahik berubah menjadi muzaki sehingga bisa meningkatkan
jumlah orang yang berzakat, serta memberdayakan bidang-bidang lain yang
dibutuhkan masyarakat, seperti pendidikan, dakwah, dan pengembangan ekonomi
kerakyatan lainnya.
Berbagi itu memberi, saling tolong menolong dalam kebaikan dan
takwa. Nilai-nilai berbagi itu bagian dari ajaran Islam, yakni ma’iyah.
Kita tidak boleh membiarkan ada orang yang sulit.
Bahkan dalam hadits disebutkan: “Bukan golongan kami orang
yang tidur dengan perut kenyang sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar”.
Program zakat ini akan menciptakan perubahan yang sangat besar, khususnya bagi
Indonesia.
Gerakan NU
Pesan saya khusus kepada para pengurus di lingkungan Nahdlatul
Ulama tentang dua aspek organisasi, yakni pemikiran (fikrah nahdliyah)
dan gerakan (harakah nahdliyah). Keduanya menjadi garis atau pegangan
yang harus dipedomani warga NU.
Pada aspek pemikiran, NU memegang apa yang disebut dengan tawassuthiyah (moderasi), tathawwuriyah(dinamisasi),
dan manhajiyah (metodologi). Moderat artinya tidak terlalu
tekstual, juga tidak terlalu liberal.
NU adalah organisasi yang berpikir dinamis sebagaimana
jargon al-muhafadhah ‘alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (melestarikan
tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Dalam proses
dinamisasi tersebut, NU harus berpedoman dengan metodologi atau manhaj.
Dari sisi gerakan, NU mengedepankan himayah (perlindungan)
dan ishlahiyyah (perbaikan). NU harus menjaga ajaran Ahlussunnah
wal Jama’ah yang mengedepankan sikap-sikap toleran, moderat, dan adil.
Saya juga mendorong NU untuk melakukan
perbaikan-perbaikan. Al-muhafadhah ‘alal qadimis shalih wal akhdzu bil
jadidil ashlah, menurut saya ini kurang inovatif, hanya menjaga dan
mengambil. Moto ini mesti ditambah dengan al-ishlah ila ma ghairil
ashlah (memperbaiki apa yang belum menjadi lebih baik).
Tapi yang lebih baik juga tidak seterusnya baik. Baik hari ini
belum tentu baik nanti. Jadi harus ditambahi lagi ‘tsummal ashlah fal
ashlah (perbaikan terus menerus). Imam Izzuddin Abdus Salam yang
mengatakan bahwa orang yang mengabaikan inovasi berarti tak paham soal
keutamaan perbaikan. Garis-garis tersebut dengan sebutan Mabadi
Nadhliyat (Dasar-dasar ke-NU-an).
Khusus tentang zakat, saya menyerukan Harakah
An-Nahdliyyah li Az-Zakah, yaitu menggelorakan gerakan kebangkitan kaum
nahdliyin untuk berzakat. Tentu pemberdayaan masyarakat sebagai
pentasharrufannya harus inovatif, kreatif dan menyesuaikan dengan keadaan
zaman.
Zakat, infak, dan sedekah adalah sendi pembangunan, selain
rukun Islam. Karena itu saya menganjurkan berzakatlah kalian seperti shalat,
puasa dan haji. Karena itu adalah kewajiban.
Wallahul muwaffiq ilaa aqwamit thariiq.
*Opini ini telah dimuat di NU Care
**Cicit dari ulama besar Nusantara, Syeikh Nawawi al-Bantani
Comments