RAMADHAN*


Oleh Mahbub Djunaidi

DILIHAT dari arah bintang, tidak ada beda antara calon kontestan yang dapat kursi dan yang tidak. Sama-sama menyambut datangnya bulan Ramadhan dengan hati gembira. Begitu dengar bunyi beduk bertalu-talu, kedua golongan hamba Allah itu sama-sama mengucap syukur bisa diberi umur panjang bertemu lagi dengan bulan puasa. Sama-sama ke pasar beli sirup, dan sama-sama pula ke pasar beli dendeng kering. Sebab, di mata Tuhan kedua golongan itu tak ada beda karena yang jadi ukuran adalah takwanya. Dapat atau tidak dapat kursi sama sekali bukan ukuran. Di mata manusia, khusus di mata istri atau mertua, boleh jadi ada beda, tapi tidak di mata Tuhan. Boleh jadi golongan yang kebagian kursi sedikit lebih necis dibanding lainnya yang lebih klomprot, tapi kedua macam penampilan itu tidaklah begitu tampak dan pula tidaklah begitu menentukan.
Yang penting, masing-masing sepakat bahwa mestilah dicamkan di dalam kalbu bunyi Al Qur’an dalam surah Al Baqarah ayat 183 “Wahai orang-orang beriman, telah diwajibkan kepada kalian berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada kaum-kaum sebelum kalian, supaya kalian takwa”. Mestilah dicamkan di dalam kalbu bunyi hadis Nabi Muhammad S.A.W. yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Baihaqi, “Bulan Ramadhan merupakan bulan di mana Allah mewajibkan kalian berpuasa dan disunnatkan sembahyang tarawih. Barang siapa yang berpuasa dan sembahyang malamnya karena dorongan iman dan karena Allah semata-mata, maka dosanya diampuni seperti bayi yang baru dilahirkan”.
Dan, bagi yang dapat kursi maupun tidak, sama-sama bertekad siap lapar dan dahaga dalam puasa Ramadhan ini, karena kedua pihak hafal belaka bunyi hadis Nabi Muhammad SAW, “Orang yang paling utama derajatnya di sisi Allah di hari kiamat adalah orang yang paling lama lapar dan paling lama berpikir tentang Allah Yang Maha Suci. Dan orang paling dibenci Allah adalah orang yang kebanyakan tidur, kebanyakan makan dan kebanyakan minum.” Dan hafal belaka mereka itu bunyi hadis, “Janganlah kalian membunuh hati dengan banyak makan dan minum, karena sesungguhnya hati itu seperti tanaman, ia mati kalau kebanyakan air.” Bukan cuma itu, kedua golongan itu pun hafal di luar kepala bunyi hadis Nabi yang menegur Abu Juhaifah yang bersendawa di depan beliau, “Kurangilah sendawamu, karena manusia yang terlama laparnya di hari kiamat adalah mereka yang paling banyak kenyang di dunia.” Apalagi bunyi hadis yang diriwayatkan Thabrani, “Berpuasalah kalian, niscaya kalian sehat.” Bukankah bunyi hadis pula yang berbunyi bahwa, “Sumber keburukan itu terdapat dalam makanan.” atau hadis, “Penyakit itu bersumber dari perut dan cegahan termasuk salah satu pengobatannya.” Pendek kata, tidaklah tampak beda sedikit pun antara calon yang dapat kursi dan yang tidak dalam hubungan dengan bulan puasa ini. Kedua belah pihak bertekad bulat melaksanakan ibadah semaksimal mungkin, tanpa cacad dan cela.
TENTU saja, jika dilihat dari jarak dekat, artinya bukan dari bintang, sedikit banyak tentu ada perbedaan walau tidak begitu penting betul. Misalnya, calon kontestan yang punya nomor urut bagus dan dapat kursi tentu air mukanya lebih bercahaya, dan senantiasa senyum baik jika berpapasan dengan tetangga maupun jika sedang berada sendiri di kamar mandi. Bagi golongan ini, mau tidak mau Lebaran ini mesti menjahitkan dua stel pakaian sekaligus demi efisiensi, yaitu satu stel untuk hari raya dan satu stel lagi diperuntukan pada hari pelantikan sebagai anggota yang terhormat kelak. Warna keduanya tidaklah sama, warna terang untuk saat Lebaran dan warna gelap untuk keperluan pelantikan, karena warna gelap (kata sebagian majalah) bisa menambah wibawa, apalagi buat mereka yang memang betul-betl kurang. Biar pun baju dipesan dua stel, tidak demikian halnya dengan tas jinjing. Hanya satu yang dipesan, yakni untuk dibawa tiap hadir di sidang dewan, karena untuk Lebaran tidak diperlukan tas sama sekali. Dalam sejarah tak pernah kejadian ada orang berlebaran menjinjing tas.
Selain persiapan lahir, tentu perlu pula persiapan batin. Dari mulai saat sekaranag si calon jadi ini pertama-tama yang dingat-ingatnya adalah apa yang pernah diucapkannya di saat kampanye, lebih-lebih yang bersifat janji, seperti penghapusan SPP atau kebebasan kampus dan menghajar Porkas sampai punah. Dia tidak mau main-main dengan janji, karena rakyat itu tidak tolol, juga rakyat itu daya ingatnya tajam sekali serta siap meludahi kepala pendusta. Ia tahu persis pemilih zaman sekarang tidaklah sama dengan pemilih zaman dahulu kala yang hatinya polos dan tidak cerewet. Pemilih zaman sekarang suka catat-mencatat apa saja yang didengarnya saay hadir kampanye, dan catatannya itu disimpannya rapi-rapi di bawah bantal. Terus terang saja, ia sendiri sebetulnya tidak tahu persis apakah janji-janji itu memang bisa terpenuhi atau tidak dan apakah ia punya kemampuan untuk membuktikannya. Para pemilih tidak ambil pusing semuanya itu, buat mereka janji itu utang, dan kapan saja akan ditagihnya dengan semangat berkobar-kobar.
AKAN halnya golongan calon yang tidak kebagian kursi, tampaknya pasrah-pasrah saja, karena memang tidak ada pilihan lain, walau ada juga menyimpan rasa gemas, nelangsa, penasaran serta pilu, yang kesemuanya itu disimpan baik-baik di dalam hati, karena tak ada yang bisa dipersalahkan, karena rakyat pemilih itu benar.
Golongan yang kurang beruntung ini, selain bersiap menghadapi Lebaran sebagaimana adatnya, juga bersiap mengambil langkah yang strategis dan perlu berdasarkan rencana terpadu, baik jangka pendek atau pun jangka panjang.
Langkah jangka pendek adalah menyangkut bidang usaha. Ada yang merencanakan peternakan lebah karena madu itu sehat dan penuh gizi, ada yang merencanakan buka toko mebel karena semua orang berbudaya perlu meja dan tempat tidur, ada yang merencanakan buka salon kecantikan karena wajah cantik tentu lebih bagus dari wajah serampangan, dan ada pula yang merencanakan berkebun walau belum pasti betul jenis tanaman apa cepat untung. Bisa jahe dan bisa juga temulawak.
Sedangkan langkah jangka panjang tentu saja mengatur siasat bagaimana bisa tampil dan menang dalam pemilu mendatang. Paling utama adalah meningkatkan kualitas, karena lima tahun mendatang manusia makin cerdik dan awas, bisa bedakan mana emas dan mana Loyang, mana kue lapis dan mana kue apem.
Tidak boleh kejeblos di lubang yang sama, sebab cuma keledai yang bisa begitu itu.


KOMPAS, 17 MEI 1987.

*Termaktub dalam "Asal Usul" Mahbub Djunaidi

Comments

Populer Post

KEHIDUPAN DAN “PELAJARAN MENGARANG” DARI SANG PENGARANG

Isi Kepala Sapto*

Hidup Hanya Singgah untuk Memandang dan Mendengarkan

Menengok Adat Suku Sasak di Kampung Sade

Pembelaan yang Datang Terlambat