RAMADHAN*
DILIHAT dari arah bintang, tidak ada beda
antara calon kontestan yang dapat kursi dan yang tidak. Sama-sama menyambut
datangnya bulan Ramadhan dengan hati gembira. Begitu dengar bunyi beduk
bertalu-talu, kedua golongan hamba Allah itu sama-sama mengucap syukur bisa
diberi umur panjang bertemu lagi dengan bulan puasa. Sama-sama ke pasar beli
sirup, dan sama-sama pula ke pasar beli dendeng kering. Sebab, di mata Tuhan
kedua golongan itu tak ada beda karena yang jadi ukuran adalah takwanya. Dapat atau
tidak dapat kursi sama sekali bukan ukuran. Di mata manusia, khusus di mata
istri atau mertua, boleh jadi ada beda, tapi tidak di mata Tuhan. Boleh jadi
golongan yang kebagian kursi sedikit lebih necis dibanding lainnya yang lebih
klomprot, tapi kedua macam penampilan itu tidaklah begitu tampak dan pula
tidaklah begitu menentukan.
Yang penting, masing-masing sepakat bahwa
mestilah dicamkan di dalam kalbu bunyi Al Qur’an dalam surah Al Baqarah ayat
183 “Wahai orang-orang beriman, telah diwajibkan kepada kalian berpuasa,
sebagaimana diwajibkan kepada kaum-kaum sebelum kalian, supaya kalian takwa”.
Mestilah dicamkan di dalam kalbu bunyi hadis Nabi Muhammad S.A.W. yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Baihaqi, “Bulan Ramadhan merupakan bulan di
mana Allah mewajibkan kalian berpuasa dan disunnatkan sembahyang tarawih. Barang
siapa yang berpuasa dan sembahyang malamnya karena dorongan iman dan karena
Allah semata-mata, maka dosanya diampuni seperti bayi yang baru dilahirkan”.
Dan, bagi yang dapat kursi maupun tidak,
sama-sama bertekad siap lapar dan dahaga dalam puasa Ramadhan ini, karena kedua
pihak hafal belaka bunyi hadis Nabi Muhammad SAW, “Orang yang paling utama
derajatnya di sisi Allah di hari kiamat adalah orang yang paling lama lapar dan
paling lama berpikir tentang Allah Yang Maha Suci. Dan orang paling dibenci
Allah adalah orang yang kebanyakan tidur, kebanyakan makan dan kebanyakan
minum.” Dan hafal belaka mereka itu bunyi hadis, “Janganlah kalian membunuh
hati dengan banyak makan dan minum, karena sesungguhnya hati itu seperti
tanaman, ia mati kalau kebanyakan air.” Bukan cuma itu, kedua golongan itu pun
hafal di luar kepala bunyi hadis Nabi yang menegur Abu Juhaifah yang bersendawa
di depan beliau, “Kurangilah sendawamu, karena manusia yang terlama laparnya di
hari kiamat adalah mereka yang paling banyak kenyang di dunia.” Apalagi bunyi
hadis yang diriwayatkan Thabrani, “Berpuasalah kalian, niscaya kalian sehat.”
Bukankah bunyi hadis pula yang berbunyi bahwa, “Sumber keburukan itu terdapat
dalam makanan.” atau hadis, “Penyakit itu bersumber dari perut dan cegahan
termasuk salah satu pengobatannya.” Pendek kata, tidaklah tampak beda sedikit
pun antara calon yang dapat kursi dan yang tidak dalam hubungan dengan bulan
puasa ini. Kedua belah pihak bertekad bulat melaksanakan ibadah semaksimal
mungkin, tanpa cacad dan cela.
TENTU saja, jika dilihat dari jarak dekat,
artinya bukan dari bintang, sedikit banyak tentu ada perbedaan walau tidak
begitu penting betul. Misalnya, calon kontestan yang punya nomor urut bagus dan
dapat kursi tentu air mukanya lebih bercahaya, dan senantiasa senyum baik jika
berpapasan dengan tetangga maupun jika sedang berada sendiri di kamar mandi.
Bagi golongan ini, mau tidak mau Lebaran ini mesti menjahitkan dua stel pakaian
sekaligus demi efisiensi, yaitu satu stel untuk hari raya dan satu stel lagi
diperuntukan pada hari pelantikan sebagai anggota yang terhormat kelak. Warna
keduanya tidaklah sama, warna terang untuk saat Lebaran dan warna gelap untuk
keperluan pelantikan, karena warna gelap (kata sebagian majalah) bisa menambah
wibawa, apalagi buat mereka yang memang betul-betl kurang. Biar pun baju
dipesan dua stel, tidak demikian halnya dengan tas jinjing. Hanya satu yang
dipesan, yakni untuk dibawa tiap hadir di sidang dewan, karena untuk Lebaran
tidak diperlukan tas sama sekali. Dalam sejarah tak pernah kejadian ada orang
berlebaran menjinjing tas.
Selain persiapan lahir, tentu perlu pula
persiapan batin. Dari mulai saat sekaranag si calon jadi ini pertama-tama yang
dingat-ingatnya adalah apa yang pernah diucapkannya di saat kampanye,
lebih-lebih yang bersifat janji, seperti penghapusan SPP atau kebebasan kampus
dan menghajar Porkas sampai punah. Dia tidak mau main-main dengan janji, karena
rakyat itu tidak tolol, juga rakyat itu daya ingatnya tajam sekali serta siap
meludahi kepala pendusta. Ia tahu persis pemilih zaman sekarang tidaklah sama
dengan pemilih zaman dahulu kala yang hatinya polos dan tidak cerewet. Pemilih
zaman sekarang suka catat-mencatat apa saja yang didengarnya saay hadir
kampanye, dan catatannya itu disimpannya rapi-rapi di bawah bantal. Terus
terang saja, ia sendiri sebetulnya tidak tahu persis apakah janji-janji itu
memang bisa terpenuhi atau tidak dan apakah ia punya kemampuan untuk
membuktikannya. Para pemilih tidak ambil pusing semuanya itu, buat mereka janji
itu utang, dan kapan saja akan ditagihnya dengan semangat berkobar-kobar.
AKAN halnya golongan calon yang tidak
kebagian kursi, tampaknya pasrah-pasrah saja, karena memang tidak ada pilihan
lain, walau ada juga menyimpan rasa gemas, nelangsa, penasaran serta
pilu, yang kesemuanya itu disimpan baik-baik di dalam hati, karena tak ada yang
bisa dipersalahkan, karena rakyat pemilih itu benar.
Golongan yang kurang beruntung ini, selain
bersiap menghadapi Lebaran sebagaimana adatnya, juga bersiap mengambil langkah
yang strategis dan perlu berdasarkan rencana terpadu, baik jangka pendek atau
pun jangka panjang.
Langkah jangka pendek adalah menyangkut
bidang usaha. Ada yang merencanakan peternakan lebah karena madu itu sehat dan
penuh gizi, ada yang merencanakan buka toko mebel karena semua orang berbudaya
perlu meja dan tempat tidur, ada yang merencanakan buka salon kecantikan karena wajah
cantik tentu lebih bagus dari wajah serampangan, dan ada pula yang merencanakan
berkebun walau belum pasti betul jenis tanaman apa cepat untung. Bisa jahe dan bisa juga temulawak.
Sedangkan langkah jangka panjang tentu
saja mengatur siasat bagaimana bisa tampil dan menang dalam pemilu mendatang.
Paling utama adalah meningkatkan kualitas, karena lima tahun mendatang manusia
makin cerdik dan awas, bisa bedakan mana emas dan mana Loyang, mana kue lapis
dan mana kue apem.
Tidak boleh kejeblos di lubang yang sama,
sebab cuma keledai yang bisa begitu itu.
KOMPAS, 17 MEI 1987.
*Termaktub dalam "Asal Usul" Mahbub Djunaidi
Comments