Teringat "Asal Usul" Mahbub Djunaidi

Oleh: Wahyu Noerhadi

Kadang, di sela-sela kerjaan, saya menyempatkan baca Kompas. Terlebih Kompas Minggu. Sebab, di situlah saya bisa baca cerpen dan rubrik "Udar Rasa". Membaca "Udar Rasa" kerap menyegarkan batok kepala saya yang kadang umeb dengan rencana-rencana kerja. Kesegaran--dan kadang di dalamnya ada pula kejenakaan--rubrik itu mengingatkan saya pada "Asal Usul", kolom yang diisi penuh oleh Almarhum (Mbah) Mahbub Djunaidi, yang sudah dibukukan oleh Penerbit Kompas sendiri, pada tahun '96.
  


Kolom "Asal Usul" Harian Kompas memang telah marhum, sebagaimana Mahbub, selaku kolumnisnya. Sayang betul tentunya, kita tak bisa lagi menjumpai tulisan-tulisan Mahbub yang kritis, bernas, penuh taburan humor, dan kaya metafor itu.
Entah pula, kenapa saya mempertanyakan kepergian "Asal Usul"? Apakah memang sudah tak ada lagi kolumnis yang humoris sekaliber Mahbub? Apa betul kadar humor kita sudah berkurang, dan lebih suka marah-marah--di jalanan, di warteg, atau di manapun.
Ya, kita mafhum, kepergian adalah kepergian. Gampangnya, "Mau bagaimana lagi, namanya juga takdir." Mungkin, kini kita hanya bisa mengenangnya. Berikut, dengan niat menghibur, saya tuliskan kembali esainya Mbah Mahbub, Si Pendekar Pena, yang saya comot dari buku "Asal Usul". Semoga terhibur.

PORKAS

SEJAK manusia ada, jantung pun ada. Bedanya, kalau dulu orang sambil lalu saja memikirkan jantung, sekarang menjadi titik perhatian, baik di kantor atau restoran, baik sipil maupun militer. Di mana-mana orang membicarakan ihwal jantung. Benda kecil sebesar tinju itu tiba-tiba jadi  penting. Ia bagaikan kaisar dalam tubuh. Ia menjadi begitu rupa bukan karena apa-apa, hanya karena orang takut mati, itu saja. Apabila jantung si Ali pun tamat riwayatnya. Ali tidak akan pernah kita jumpai di mana pun juga di muka bumi ini.
Kapan kira-kira jantung ini naik daun? Kapan kira-kira kerusakan jantung ini begitu ditakuti. Lebih ditakuti dibanding 10 macam penyakit digabung jadi satu? Kira-kira sesudah Dr. Cooper mengajarkan “aerobik”. Sesudah itu penduduk pun lari-lari anjing, bahkan ada juga yang sambil membimbing anjing sungguhan, sehingga anjing itu menjadi sehat seperti juragannya. Ada yang main tenis atau golf sambil membahas apa kiranya yang pantas dijadikan duit. Di mata orang yang kepingin sehat ini, Dr. Cooper sudah dianggap seperti ninik-mamaknya sendiri, dipatuhi omongannya hingga ke titik-koma. Dr. Cooper adalah segala-galanya.
Tetangga saya malahan memasang foto Dr. Cooper persis di samping foto perkawinannya dan melirik ke arahnya tiap ia masuk atau ke luar rumah. Kalau saja Dr. Cooper ini jadi pilot dan bukan jadi dokter Angkatan Udara Amerika Serikat, jangan-jangan dia sudah rontok di Vietnam dan tidak bakalan ada yang namanya “aerobik” itu. Dan kalau tidak ada “aerobik”, maka tak bisa dibayangkan apa yang terjadi pada umat manusia. Mereka akan bisa jatuh berkaparan bagaikan lalat.

BEGITU orang-orang, begitu pula saya sendiri. Tiap pagi hari saya berlari seperti orang gila. Tiga hari sekali saya main golf. Seminggu sekali saya main tenis. Hari Rabu sore saya main sepak takraw. Hari Jumat sore saya main kasti. Dan hampir tiap petang saya main bola sodok. Di sela-sela semuanya itu saya berkuda bagaikan pangeran tempo dulu. Bangga betul hati saya melihat tingkah saya. Sebab, buat kebanyakan penduduk, jangankan punya kuda, punya ayam saja sudah susah payah.
“Aerobik” itu bukan sembarangan. Dia semacam ilmu juga. Semuanya diperhitungkan cermat, hingga ke detik-detiknya. Kita mesti punya jam tangan yang bisa dipercaya. Bagi mereka yang kebetulan tidak punya jam tangan bagus, dianjurkan lebih baik kredit dulu sebelum terjun ke bidang ini. Bolehlah dibilang, “aerobik” itu bukan perbuatan orang banyak, melainkan teruntuk mereka yang menghargai hidup di atas segala-galanya. Tentu saja tiap orang bisa berlari kapan saja dia mau, lari hingga ngos-ngosan, tapi seorang penganut “aerobik” berlari dengan rencana terarah dan terpadu. Memang ia ngos-ngosan juga, tapi ngos-ngosan yang ilmiah.

SELAIN rupa-rupa gerak badan di atas, masih ada lagi penunjangnya. Saya punya satu kamar khusus yang isinya akan mencengankan mata biasa. Ada rowing, mendayung di atas ubin. Ada mutual arm stretching. Ada knee bends. Ada shoulder strongs. Ada arm curls. Ada bench press. Ada full exerciser. Dan ada banyak lagi yang bakal menjemukan jika disebut. Binatang apakah semuanya itu? Tak lain alat senam mutakhir dan canggih, begitu penuh sesaknya hingga kamar itu tak ubahnya seperti bengkel. Andaikata semua alat-alat itu saya pergunakan secara tepat menurut buku petunjuk dan teratur, apa yang bakal terjadi sudah bisa dibayangkan: tubuh saya akan menggelembung seperti seekor gorila.

NAMUN, (namanya juga manusia) saya belum puas juga. Rasanya masih ada yang kurang. Saya kepingin sehat-sesehat-sehatnya, seperti seekor ikan. Di samping petuah-petuah Dr. Cooper, di samping tambahan rupa-rupa jungkir-balik senam, di samping saya sama sekali tidak menyentuh rokok bahkan melihatnya saja tidak sudi, di samping saya tidak minum apa pun selain air kendi, saya tambah lagi dengan kupon “porkas”. Ini memang sejenis olahraga juga, walau olahraga ringan, tinggal isi saja kolom-kolom, mana kira-kira kesebelasan yang menang, tanpa harus menyaksikan sendiri pertandingan itu, bahkan tanpa harus tahu di mana sebetulnya kesebelasan Aston Villa bertanding lawan Sheffield Wednesdey. Pokoknya cukup beli kupon, dan isi secara kira-kira, titik. Ada seorang pembeli kupon kepingin tahu, dari kota mana gerangan berasal kesebelasan Tottenham Hotspur atau Watford atau Queen’s Park Ranger, tapi hingga sekarang ia tak peroleh jawaban yang memuaskan. Ia menyimpulkan, jangan-jangan tak lebih dari kesebelasan kampung belaka. Cuma saja, ada sedikit masalah yang membikin saya risau. Yaitu saat menunggu pengumuman dari Jalan Pluit Selatan No. 1 Jakarta Utara, tiap hari Minggu malam. Biarpun saya berusaha sekuat tenaga untuk kalem dan pasrah, tapi senantiasa sia-sia. Saya amat deg-degan. Jantung saya tidak bekerja normal. Jantung saya berdebar-debar. Sebagai orang yang amat memeperhatikan hal ihwal jatung, tentu saja keadaan ini menjadi pikiran. Dan karena jadi pikiran, bukan saja jantung yang semakin berdebar-debar melainkan kepala pun menjadi pening. Mata saya berkunang-kunang. Nafsu makan saya langsung merosot dan akibat selanjutnya sudah bisa diduga, saya tidak bisa tidur nyenyak sebagaimana mestinya.
Olahraga ringan macam apa ini? pikir saya. Dari pada dirundung gelisah tak menentu, saya mengambil keputusan cepat berkonsultasi ke dokter, yang ahli jantung pula. Dokter mengajukan serentetan pertanyaan sebagaimana lazimnya.
“Sport macam apa yang Anda lakukan selain 'aerobik' dan senam kamar dengan alat-alat itu?”
“Porkas, Dok.”
“Apa?!”

KOMPAS, 8 MARET 1987




Comments

Populer Post

KEHIDUPAN DAN “PELAJARAN MENGARANG” DARI SANG PENGARANG

Isi Kepala Sapto*

Hidup Hanya Singgah untuk Memandang dan Mendengarkan

Menengok Adat Suku Sasak di Kampung Sade

Pembelaan yang Datang Terlambat