Sepatu Bodhol*

oleh Wahyu Noerhadi

Sore itu akan menjadi sore paling membahagiakan bagi Den Baguse. Sebab, ia akan pergi kencan ke Taman Sari dengan seorang gadis. Ia akan kencan dengan gadis yang telah lama dikagumi dan dirindukannya. Gadis itu bernama Lady Cempluk. Ia adalah mahasiswi di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta. Sedangkan Den Baguse adalah seorang lelaki pemalu yang juga sedang menimba ilmu, di salah satu kampus di Purwokerto. Tiga tahun yang lalu mereka berjumpa dalam acara Temu Teater Mahasiswa Nusantara, di kampus tempat Den Baguse belajar. Dan, selama 6 semester itu mereka berdua tak pernah kembali berjumpa. Mereka hanya menjalin hubungan lewat telepon. Dan kini, di sela-sela waktu magangnya di Jogja, Den Baguse memiliki kesempatan untuk bertatap muka dengan tambatan hatinya.
Waktu yang telah ditentukan pun tiba. Den Baguse sudah berada di Taman Sari sejak pukul 15.10 WIB, tapi Lady Cempluk belum juga kelihatan lenggok pinggulnya. Hingga pukul setengah empat sore Den Baguse masih menunggu. Ia mulai cemas. Ia takut jika kencannya itu batal.
“Hey... nungguin lama, ya?” Tiba-tiba Lady Cempluk mengagetkan Den Baguse dari belakang.
“Oh, enggak kok. Aku juga baru nyampe.” Den Baguse merasa harus berbohong untuk tetap menyenangkan hati bidadarinya itu.
“Yuuuh, kita lihat-lihat bangunan yang katanya bersejarah ini.” Ajak Lady Cempluk. 
“Mmmm, ayo!” Balas Den Baguse ragu.
“Kenapa kakinya? Kok jalannya aneh?” Tanya Lady Cempluk.
“Enggak kenapa-kenapa. Cuman sedikit keseleo.” Jawab Den Baguse dengan wajah meringis.
Lady Cempluk terus memperhatikan langkah Den Baguse.
“Owalah... Jebul sepatumu bodhol, ta?” Ucap Cempluk sambil cekikikan.
Sore yang dikiranya akan membahagiakan berubah menjadi sore yang paling memilukan serta memalukan bagi Den Baguse. Di Taman Sari itu ia berjalan dengan sepatu yang alasnya mau lepas. Sebab, sepatu yang ia pinjam dari temannya itu ternyata baru saja selesai dilem.

*Coretan ini dimuat di Harian Jogja beberapa bulan yang lalu—Februari 2015, kalau saya tidak keliru.


Comments

Populer Post

KEHIDUPAN DAN “PELAJARAN MENGARANG” DARI SANG PENGARANG

Isi Kepala Sapto*

Hidup Hanya Singgah untuk Memandang dan Mendengarkan

Menengok Adat Suku Sasak di Kampung Sade

Pembelaan yang Datang Terlambat